Lihat ke Halaman Asli

Ber-Commuterline

Diperbarui: 18 Mei 2024   16:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler


Banyak berubah, seiring zaman. Seperti biasa akhir pekan ini memaksa saya untuk melakukan perjalanan dinas. Tidak merasa berat, meski harusnya bersama keluarga melakukan aktifitas di rumah. Merapihkan halaman, membersihkan hiasan dari debu, atau membersihkan kipas angin yang kotor. Jika kipas kotor hembusan angin yang dihasilkan tidak optimal.

Commuterline jadi moda pilihan saat menjalankan tugas. Pagi ini saya menuju Rangkasbitung untuk mengikuti lokakarya PSP angkatan 2. Sudah sejak lama saya menggunakan moda transportasi ini saat pergi bertugas, atau ada keperluan dinas ke Kota itu. Bahkan sejak kereta masih ditarik lokomotif.

Pertama merasakan jadi penumpang kereta, saat saya masih duduk di kelas 3 SD. Saya diajak berkunjung ke Pamarayan. Sebuah kampung di perbatasan Serang dan Kab. Lebak. Kepergian itu untuk mengunjungi rumah salah satu kerabat. Kami naik dari stasiun Serpong menuju Merak. Kami turun di stasiun Catang. Dari Catang kami melanjutkan dengan berjalan kaki. Jauh sekali rasanya saya berjalan. Terpaksa berjalan kaki, karena saat itu tak ada angkutan umum menuju kampung Pamarayan.

Kereta hanya ada dua trip ke arah barat, pagi dan siang. Begitupun arah sebaliknya. Kami akan pulang dengan kereta yang sama, setelah kereta balik arah di stasiun Merak.

Susana kereta pada waktu itu sangat kumuh. Sampah berserakan, pengamen silih berganti datang lalu bernyanyi. Menyodorkan kantong bekas permen, memasang raut wajah seperti memaksa penumpang memasukan receh ke dalam kantong yang disodorkan.

Pedagang tahu goreng berseliweran, pedagang minuman menabuh botol dagangannya. Copet bergentayangan, memanfaatkan saratnya penumpang kereta.  Merogoh dari saku celana yang satu, ke saku berikutnya. Dari banyaknya orang yang mengais rezeki di dalam kereta, hanya copet yang saat bekerja melakukan perencanaan matang. Bisa jadi mereka berlatih dan melakukan simulasi sebelum beraksi.

Untuk yang kedua kalinya saya berkesempatan menjadi penumpang kereta. Saat itu saya sudah berseragam abu-abu. Saya akan pergi ke Merak. Saya tak sendiri, ada Dewi yang menemani. Dewi tinggal tak jauh, dari rumah saya. Kami akrab karena sering jumpa di pagi hari saat hendak menuju sekolah. Sekolah kami beda, tapi melewati jalan yang sama. Di ujung gank Dewi harus menunggu angkot, sekolahnya jauh dari rumah. Sementara saya menyeberang jalan, dan sampai di sekolah.

Seperti biasa, pagi itu saya bertemu dengan Dewi. Entah mengapa kami membahas tentang piknik. Akhirnya terlontar ajakan saya kepada Dewi untuk pergi jalan-jalan dengan kereta. Dewi mau, dan kami berangkat pada hari yang disepakati.

Untung saja harga tiket masih terjangkau. Saat itu harga tiket kereta hanya Rp. 900 per orang. Kami berangkat saat pagi hari, siang sebelum dzuhur saya sudah sampai di stasiun Merak. Di merak kami berkeliling dermaga. Setelah sebentar berkeliling, saya mencari tempat makan. warung nasi padang jadi pilihan. Tak lama berkeliling sekitar dermaga, satu jam setelah dzuhur kami kembali naik kereta yang sama. Kereta segera kembali menuju Jakarta.

Comutterline sudah sampai di stasiun Rangkasbitung. Saya harus turun, dan keluar stasiun. Menuju tempat kegiatan, harus memilih ojek yang tepat. Pekan lalu saya dapat ojek yang mungkin tidak mandi, atau baju yang dikenakan tak diganti sejak kemarin. Jadi sangat tidak nyaman.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline