GILA : Pemilihan Kepala Daerah Harus Bersaing, Tapi Pemilihan Ketua Partai Boleh Aklamasi
Undang-Undang Pemilukada No.8 tahun 2015 tentang Pemilukada yang memberi syarat bahwa Calon Kepala Daerah wajib bersaing dalam perebutan kekuasaan Kepala Daerah. Apabila hanya terdapat satu pasangan calon (paslon) saja dalam Pilkada di suatu daerah maka Pilkada wajib ditunda hingga tahun 2017. Sepintas aturan tersebut tak ada yang salah. Kita mahfum bila demokrasi itu selalu identik dengan persaingan, pertarungan dan voting. Tanpa ada persaingan rasanya kita kembali kejaman dulu. Mungkin pesan demokrasi itu yang menginspirasi aturan main tersebut.
Namun demokrasi dalam Pilkada tahu 2015 tidak dibayangkan seperti cita ideal tersebut. Kenyataan membuktikan terdapat 4 kabupaten dan kota di Indonesia yang memiliki calon tunggal. Meskipun pendaftaran calon Kepala Daerah sudah buka-tutup beberapa kali tetap saja tak ada calon yang berani melawan. Sebagaimana aturan dalam UU Pilkada tersebut maka Penyelenggaraan Pilkada di daerah tersebut seperti Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat; Kabupaten Blitar di Jawa Timur, Kota Mataram di Nusa Tenggara Barat (NTB), serta Kabupaten Timor Tengah Utara di Nusa Tenggara Timur (NTT) wajib ditunda.
Dengan berbagai latar dan alasan ternyata demokrasi tidak selamanya melahirkan persaingan. Bisa jadi ada alasan positif bisa juga terjadi dengan alasan yang negatif. Seseorang bisa saja menjadi calon tunggal karena semua rakyat menginginkannya, sebaliknya bisa juga karena telah memborong partai politik, meski rakyat membencinya. Namun, kondisi keduanya sama sekali tidak penting dihadapan undang-undang 8 tahun 2015. Sesuai dengan jiwa undang-undang tersebut, tidak penting jahat atau buruknya kondite pasangan calon, asalkan ada pesaingnya dalam Pilkada mereka sudah layak ikut Pilkada.
Ketua Umum Partai Dipilih Aklamasi
Bila undang-undang memaksa adanya pertarungan dalam Pilkada kalau tak mau ditunda, maka itu tidak berlaku dalam aturan Partai Politik. Para anggota DPR yang membuat UU Pemilukada 8/2015 langsung berubah pemikiran jika kembali kepada Partainya masing-masing. Mereka dengan seenaknya membela mati-matian bahwa mekanisme pemilihan ketua partainya yang aklamasi itu sudah mencerminkan demokrasi. Mereka bahkan yang menjadi pelaku terdepan agar si pemilik partai tetap memimpin partai mereka. Tidak jarang justru mereka sendiri yang menakuti calon lain agar tidak maju dalam persaingan memperebutkan pimpinan partai politik. Semua alibi ternyata bisa dibolak balik sesuai dengan kepentingan politik mereka semata.
Lihat bagaimana semua anggota DPR bungkam ketika Megawati (PDIP), SBY (Demokrat), Prabowo (Gerindra), Wiranto (Hanura), Sutiyoso (PKPI) terpilih secara aklamasi, atau terpilih dengan cara memilih dirinnya sendiri. Ada partai meski tidak aklamasi, namun justru sibuk bertikai dan bersih pukulan dalam menentukan calon Ketua Umumnya. Hanya sedikit partai yang dapat memilih Ketua Umumnya dengan tanpa masalah meski juga bukan berarti tanpa masalah. Pendeknya, di partai politik nya masing-masing sesungguhnya anggota DPR samasekali tidak mencerminkan pendirian yang konsisten. Mereka kerap memunculkan kebijakan yang jsutru bertentang dengan keseharian mereka di partai politik. Inilah politik bermuka dua yang selalu dipertontonkan kehadapan publik. Seperti alayaknya drama, masyarakat selalu diberikan tampilan yang suci di depan panggung dengan menutupi segala keburukan yang ada dibalik panggung.
Demokrasi Standar Ganda
Kita kerap kali disuguhkan demokrasi yang berstandar ganda dari para pelaku demokrasi itu sendiri. Dihadapan kepentingan ternyata tidak ada kesejatian. Semua cita demokrasi ternyata bisa dibandrol sesuai dengan tarif yang telah ditentukan. Asalkan suka sama suka semua kabijakan bisa diputuskan. Demokrasi sangat fleskibel. Bahkan banyak kalangan mengira demokrasi sepserti pisau bermata dua, tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Bagi orang bawah wajib demokrasi, wajib bersaing, tidak bisa aklamasi, dan aturan itu wajib ditegakkan tanpa pandang bulu. Bila rakyat tidak ikut demokrasi maka mereka bisa dikatakan menghasut dan menentang undang-undang. Namun keatas, jika berhadapan dengan partai sendiri, berhadapan dengan periuk nasi sendiri, berada di rumah tangga sendiri semuanya berubah, yang penting asal pemilik partai senang semuanya bisa dimaklumi.
Tak perduli apa kata orang tentang aturan yang buruk di dalam partai, asal kepentingan politik dapat terakomodir itu sudah cukup. Kalaupun ketua umum partai mau menjadi pimpinan partai seumur hidup, tanpa melalui proses bersaing, itupun bisa dimaklumi sebab mereka memang memiliki partai itu. Urusan ke publik semuanya bisa di atur, apakah mencari alasan yang rasional ataupun tanpa alasan sama sekali. Selagi kepentingan akan kekuasaan dapat diraih segala topeng dapat saja digunakan untuk tampil di hadapan rakyat. Standar ganda bukan barang haram, standar ganda sudah menjadi hukum tersendiri bagi para seniman pecinta kekuasaan. Tanpa standar ganda tentu saja tidak mendapat kan apa-apa.
Penutup