Lihat ke Halaman Asli

Malu Berubah Mulia

Diperbarui: 4 Juli 2015   02:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aisyah menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah sedang berbaring di rumah. Saat itu kaki beliau tersingkap. Tiba-tiba Abu Bakar datang meminta izin bertemu. Nabi mengizinkannya, lalu beliau berbincang-bincang tanpa merubah posisi duduknya. Selanjutnya Umar datang, dan beliau tetap dengan posisi seperti itu. Lalu ketika Utsman datang, tiba-tiba Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk dan merapikan pakaiannya.

Utsman masuk dan ikut berbincang-bincang dengan mereka. Setelah mereka keluar, Aisyah bertranya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Ketika Abu Bakar masuk, Anda tidak merapikan posisi, begitupun ketika Umar masuk, Anda tidak merubah posisi. Tetapi kenapa ketika Utsman masuk, Anda duduk dan merapikan pakaian Anda?” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

أَلاَ أَسْتَحِى مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِى مِنْهُ الْمَلاَئِكَةُ
“Tidakkah aku malu pada orang yang malaikat pun malu kepadanya?!” (HR. Muslim)

Allahu Akbar! Bahkan malaikatpun malu kepada Utsman.

 

Malu Berbuah Mulia

Riwayat di atas menunjukkan betapa bagusnya rasa malu Utsman radhiyallahu anhu, hingga dalam riwayat lain Nabi bersabda, “Umatku yang paling pengasih adalah Abu Bakar, yang paling tegas dalam kebenaran adalah Umar, dan yang paling bagus rasa malunya adalah Utsman.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan, “hasan shahih.”)

Ini menunjukkan bahwa sifat malu menjadi sifat unggulan dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang telah diberi kabar gembira sebagai ahlul jannah.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

الْحَيَاءُ مِنَ الْإِيمَانِ، وَالْإِيمَانُ فِي الْجَنَّةِ
Malu termasuk keimanan dan Iman tempatnya di jannah.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan “shahih.”)

Alangkah butuhnya generasi ini akan sifat malu. Zaman di mana banyak orang yang bangga mempertontonkan kebodohannya, membanggakan dosanya, mengobral aib dirinya dan memamerkan auratnya. Zaman di mana pemilik muka tebal dan telanjang dari rasa malu justru menjadi figur-figur publik yang diidolakan. Sifat malu dipojokkan dengan imej yang tidak mengenakan; kurang gaul, cemen, polos, lugu dan berbagai istilah yang bermaksud menjatuhkan orang yang masih menjaga sifat malu. Inilah zaman di mana rasa malu telah terkikis nyaris habis, seiring dengan makin tipisnya keimanan yang berhubungan erat dengan rasa malu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline