Lihat ke Halaman Asli

Jangan Keliru, Pertamina Tidak Rugi Tetapi Untung

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

"Pertamina Rugi Rp 6,5 Triliun."Begitu judul berita  utama harian Kompas hari ini, 7 Januari 2014. Kalau hanya membaca judul, berita ini memberikan kesan Pertamina sebagai perusahaan dengan kinerja buruk.

Kerugian Rp 6,5 triliun itu sesungguhnya adalah hanya kerugian dari lini bisnis penjualan Elpiji kemasan 12 kg. Cerita mengenai kerugian dari penjualan Elpiji 12 kg ini sudah sering disampaikan Pertamina. Karena itu, sejak pertengahan 2010 lalu, Pertamina meminta restu pemerintah untuk menaikan harga jual Elpiji kemasan 12 kg.

Tetapi pemerintah rupanya tidak punya nyali. Karena sudah bisa ditebak, kenaikan harga Elpiji 12 kg akan menuai penolakan dari publik. Pemerintahan yang mengandalakan citra, tentu tidak mau berani membuat kebijakan yang tampak tidak populis. Jadilah, Pertamina terus menanggung kerugian dari lini bisnis penjualan Elpiji 12 kg.

Audit resmi BPK, dalam kurun Januari 2011 hingga Oktober 2010, total kerugian dari penjualan Elpiji 12 kg ini mencapai Rp 7,73 triliun. Berbekal audit resmi inilah Pertamina pada 1 Januari 2014 kemarin menaikan harga jual Elpiji 12 kg sebesar 68%.

Namun,pemerintah yang pura-pura tidak tahu soal kenaikan harga Elpiji ini, meminta Pertamina meninjau kembali harga jual Elpiji 12 kg yang tidak disubsidi APBN itu. Tak mau melawan pemerintah, apalgi yang mebuat titah adalah Presiden sendiri, Pertamina pun merevisi kenaikan harga dari sebelumnya rata-rata sekitar Rp 3.500/kg menjadi rata-rata sebesar Rp 1.000/kg. Dalam konteks itulah kerugian Rp 6,5 triliun yang ditulis harian Kompas.

Tetapi, perlu dicatat, secara konsolidasi Pertamina adalah perusahaan yang sehat. Ini terbuki dari capaian laba bersih perusahaan yang terus meningkat saban tahun.

Sejak 2008, rata-rata pertumbuhan laba bersih Pertamina adalah 11,52%. Tahun 2008, laba bersih Pertamina sebesar Rp 19,77 triliun, tahun 2009 sebesar Rp 15,8 trilun. Kemudian, 2010 laba bersih Pertamina sebesar Rp 16,78 triliun dan 2011 sebesar Rp 20,47 triliun. Tahun 2012, laba bersih Pertamina mencapai rekor tertinggi sebesar Rp 25,89 triliun. Atas pencapain gemilang itu, Menteri BUMN Dahlan Iskan memuji-muji Karen Agustiawan sebagai CEO BUMN yang hebat.

Belum ada rilis resmi laba bersih Pertamina tahun 2013. Tetapi ditargetkan mencapai Rp 31,84 triliun. Jadi, kesimpulannya, Pertamina adalah perusahaan yang sehat, kinerjanya bagus.

Hanya saja perlu dicatat juga. Dan ini harus menjadi perhatian pemerintah. Penggunaan LPG sebagai bahan bakar untuk rumah tangga bukanlah program yang bagus unutk jangka panjang. Alasannya, kebanyakan LPG yang kita konsumsi saat ini adalah impor. Karena itu harganya sangat tergantung pada suply-demnad di pasar global dan sangat rentan dengan flutuasi nilai tukar.

Kalau terus mengandalkan LPG, tidak saja Pertamina yang menanggung rugi, tetapi juga membuat ekonomi Indonesia tidak sehat. Defisit neraca perdagangan akan menjadi sulit diatasi. Dan beban subsidi energi bukan tidak mungkin akan terus membengkak. Apalgi, kalau masyarakat yang biasanya menggunakan LPG 12 kg bermigrasi ke LPG 3 kg yang disubsidi APBN.

Lalu, apa solusinya? Pemerintah harus lebih agresif mengembangkan gas kota. Agar masyarakat menggunakan gas alam untuk rumah tangga. Indonesia memiliki persediaan gas alam yang melimpah. Hanya saja pemanfaatannya masih minim karena terkendala infrastruktur. Selain pengembagan gas kota, pemerintah juga menggalakan program pengolahan gas alam menjadi Conpressed Natual Gas (CNG). Dengan CNG, masyarakat yang bermukim jauh dari infrastruktur pipa gas kota, bisa tetap mendapt akses gas alam yang sudah dipadatkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline