Lihat ke Halaman Asli

da.styawan

Statistisi Pertama

Tarian Lentera

Diperbarui: 14 Oktober 2016   16:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Matahari mengkilat di atas langit kota. Terik menimpa hampa. Dalam gelap jiwa, cahaya bintang menari. Tari lentera. Tak ada nada yang mengiringi. Tak ada suara atau pekik Sang penari. Hanya rasa yang perlahan menyandera jiwa. Terang di ujung lentera Sang penari bergetar. Mengusir gelap di sekujur ruang pengap yang membekap. Dinding-dinding ruang membujur tegak. Seperti pohon-pohon yang berdiri membelah pagi. Dinding-dinding ruang bergemuruh. Teriakkan kata penuh angkuh. Mereka berontak terhadap segala peluh. Seperti senja yang hendak bersanding dengan malam. Mengurai sebuah kisah tentang kelam buai terang. Tapi, kidung Sang penari tetap berpendar. Dan lentera tak henti berpijar.

Pada satu sorot matahari. Daun-daun berserak penuhi bumi. Mereka abadi di bawah satu lentera. Menjadi penopang bagi Sang penari. Membawa tarian lentera pada nyata. Hingga ujung lentera menyala terangi semesta. Alam raya tampak hidup. Semuanya seperti menggenggam sebuah asa. Sebuah pinta akan masa depan yang lebih bahagia. Pohon-pohon semakin kukuh berdiri. Ranting-ranting menyatu, tak hendak berpisah dari Sang tubuh. Bunga-bunga menumbuhkan kelopak-kelopak yang teramat indah. 

Putik-putiknya merangkai untaian senyum. Mengikatkannya pada berhelai-helai ilalang. Di atas sana, putih langit memudar. Angin datang memusar. Hendak menghapus rona bahagia wajah semesta. Pusaran itu bertambah kencang. Hingga pohon dan ranting tak lagi berdamping. Kelopak-kelopak terberai dari putiknya. Daun-daun berpencar menjauh. Seketika, terang menghilang dari ujung lentera.

Kini tarian lentera itu telah punah. Sang penari pun lelah. Ia terkulai dalam ruang jiwa. Tapak-tapak tangan keluar dari balik dinding. Sebagian tapak-tapak itu mencengkram tubuh Sang penari. Sebagian lagi tak henti mencekik leher Sang penari. Mereka ingin Sang penari berhenti menyuarakan terang. Pada akhirnya, mereka hendak mempertemukan tarian lentera dengan ujung matinya. Gelap benar-benar hapus terang. Tak ada lagi sinar di ujung lentera. Tak ada tetes-tetes peluh. Hanya jiwa yang menggemakan pekik mengaduh. Jiwa yang mengalunkan lagu kematian. Sebuah lagu tentang terhunusnya terang oleh pedang dan perang. Semua terjadi saat pagi berganti senja. Saat gelap memeluk alam raya.

Di atas secarik senja. Pena pagi usai melukis pelangi. Berganti menuliskan satu sajak separuh hati. Sajak dengan bait-bait yang tak utuh. Sekejap, luruh bersama gelap. Runtuh dalam lelap.

Pada satu sapuan bumi. Senja gelapkan dinding-dinding jiwa. Batas nurani hilang bentuk. Tertunduk pada nafsu yang terus membusuk. Lentera itu remuk…

Pada sisi gelap matahari. Wajah Sang penari membiru. Menunggu bayang terang. Menanti gelap matahari hilang. Hingga mata menyibak tirai senja. Hingga kereta membawa tarian lentera…

Gelap semakin merayap. Dalam dekap, Sang penari tersekap. Telah lemah sorot terangnya. Terlalu letih gerak tari lenteranya. Pada ujung sabit bulan, Sang penari tertegun. Ia merenung dalam bayang. Merengkuh segala imaji tentang terang. Sejenak, Ia menunduk. Menatap bayang remang tubuh sendiri. Meratapi bengis kelamnya dunia. Menangisi kaki-kaki manusia yang terus melangkah, jejaki malam. Tangan-tangan mereka tak berhenti mengepal, terbuai dekap kelam. Mereka pimpin dunia tanpa lentera. Sementara, hari hendak mengantar malam pada peraduannya. Dan Sang penari mulai melepas lentera.

Gelap semakin merayap.

Dalam dekap, Sang penari tetap tersekap…




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline