Lihat ke Halaman Asli

Anton Da Karola

| tukang foto | tukang kliping

Mengumpulkan Keluarga dengan Tradisi Pantauan

Diperbarui: 16 Maret 2018   00:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perjalanan mudik, Palembang - Lahat dengan kereta api. (dokpri)

Seorang relawan dari lembaga kemanusiaan pernah bercerita, ketika ia dikirim ke Filipina untuk membantu di pengungsian. Ia meminta bantuan warga lokal untuk menanak nasi dalam sebuah wadah besar, mungkin mirip dandang kalau disini, untuk memenuhi kebutuhan pangan di lokasi. Hasilnya, sebagian nasi yang dimasak hangus, bahkan ia mendapat bonus dimarahi dalam bahasa lokal. Ternyata mereka tidak terbiasa memasak dalam jumlah besar sekaligus. Jadi, masak ya sendiri-sendiri, sesuai ukuran periuk masing-masing keluarga.

Memasak dalam kondisi darurat, tidak pernah kita bayangkan. Bagaimana kalau memasak dalam kondisi normal, namun dalam jumlah relatif besar? Bagi kita yang jarang berurusan ke dapur, akan sangat merepotkan sehingga lumrah di kota-kota besar lebih memilih katering terpercaya.

Bagi orang tua saya yang tinggal di daerah dengan ikatan kekeluargaan masih tinggi, memasak bersama adalah tradisi, termasuk di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.

Kebiasaan turun-temurun ini, tidak memiliki kaidah baku, tanpa catatan tapi diwariskan dari mulut ke mulut sehingga rentan terganti oleh gaya hidup masyarakat modern yang heterogen. Justru nasab atau silsilah keluarga dari pihak ibu yang sangat lengkap. Dari generasi yang pertama kali tercatat yakni Ratu Segentar Alam, hingga 32 generasi selanjutnya.

Jauh hari, ketika salah satu keluarga akan memiliki hajatan, biasanya sudah diberitahukan untuk hadir dengan cara ditemui langsung untuk menghormati keluarga yang dituakan, inilah yang dimaksud pantauan atau panggilan. Panggilan ini mudah tersebar karena di dusun umumnya masih banyak hubungan keluarga.

Selalu hadir

Hajatan yang paling sering adalah menikahkan anak. Dua atau tiga hari menjelang hari H, keluarga terdekat sudah hadir dan yang luar biasa, sejauh apa pun jarak memisahkan, tetap dibela-belain untuk bisa hadir. Kami yang dari Palembang, harus menempuh perjalanan darat selama delapan jam jika akan ke Pagaralam dan sebaliknya.

Jumat, 16 Februari 2018 kami sekeluarga berangkat ke Lahat menggunakan kereta api. Terakhir kali naik kereta sekitar tiga atau empat tahun lalu, saat si bungsu belum lahir. Perjalanan selama empat jam dengan membawa tiga anak cukup merepotkan bila naik kendaraan umum roda empat. Kali ini, menghadiri akikah keponakan.

Sebelum tiba, kami diberitahu bahwa ada pula keluarga dari Desa Payaraman, Inderalaya, Kabupaten Ogan Ilir yang juga naik kereta. Karena di Lahat sudah tidak ada lagi angkutan umum, kami pun dijemput.

Siang ini empat ekor kambing sudah dipotong, "Wah, biasanya cuma dua ekor untuk anak cowok?" tanya saya. Dua ekor lagi untuk anak saya, Akayro (4,5) yang memang belum sama sekali aqiqah, mbak dan adiknya sudah. Ternyata diam-diam keluarga disini melakukannya untuk kami.

Apa jadinya jika kami batal berangkat? H-2 sebelum keberangkatan, Akay sudah demam lebih dari tiga hari, kondisinya menyulitkan untuk diajak. Bahkan dokter di Puskesmas menyarankan segera ke IGD jika sampai siang hari, panasnya belum juga turun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline