Lihat ke Halaman Asli

Persahabatan... hum

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jangan berpikir terlalu singkat tentang Persahabatan. Mungkin Kamu terlahir sebagai orang yang bernasib baik, menikmati persahabatan yang manis, asam-pahitnya pun akan menjadi manis ketika kemasannya menjadi kenangan untukmu. Namun tidak bagiku, aku sempat berpikir, tidak hanya berpikir bahkan aku merasakan, bahwa persahabatan itu omong kosong. Ketika itu aku adalah anak yang hidup dilingkungan yang cukup buruk. Persahabatan yang kutemukan hanya bungkusnya saja. Jelas sekali mereka yang kulihat saling menghianati di belakang ‘sahabat’nya sendiri. Diam-diam mereka mencari keuntungan dari persahabatan itu.

Aku memandang persahabatan seperti itu selama aku duduk di bangku sekolah menengah. Pergaulan yang bebas, terlalu berambisi untuk mendapat title ‘gaul’ di sekolah membuat mereka tidak menjadi diri sendiri. Persahabatan yang di jalin benar-benar tidak berarti kecuali hura-hura dan bersenang-senang semata. Makanya, waktu itu aku begitu cupu, kutu buku, menjauhi peradaban. Ya, peradaban sekolah yang penuh kebohongan.

Selepas lulus dari bangku sekolah, aku menemukan arti baru dari persahabatan. Mungkin aku telah menjadi anak yang bernasib baik. Merasakan suka duka bersama seorang sahabat. Sebut saja namanya Zeel. Sampai sekarang pun aku masih merasakan keindahan masa itu. Aku sedang tersenyum sekarang, mengenangnya. Kami saling berbagi, saling bertukar, kadang terjadi salah paham namun kami tidak tahan untuk berlama-lama tak saling sapa. Dia mengingatkan, aku juga mengingatkan dia. Dia mengakui hal bodoh yang telah dia lakukan, kadang aku yang tunduk merasa bersalah dihadapan dia yang sedang mengomeliku. Kami selalu bersama.

Kawan, tapi itu tak berlangsung lama. Kami menemukan hal-hal yang seharusnya kami toleran. Kita bukanlah manusia sempurna. Aku memiliki kebiasaan yang dia tidak suka, dan dia memiliki watak yang aku benci. Kesamaan kami, keras kepala. Kami selalu berusaha saling memahami, tapi selalu saja perbedaan ini membuat kami berpisah lagi.

Entah ini adalah pembelaan atas diri atau memang aku benar adanya, kutemukan lagi bahwa dalam persahabatan ada kecemburuan. Aku berusaha untuk memahaminya sedang cemburu padaku. Tapi aku rasa ini amat konyol dan seperti serasa tidak normal. Aku pikir cemburu hanya untuk pasangan kekasih, tidak pada persahabatan.

Dia sekarang berubah, Kawan. Sejujurnya aku ingin dia seperti dulu. Dia merasa dijauhi sekarang, dia merasa aku perhatian pada sesorang sekarang. Ayolah, Zeel! Kenapa Kamu  seperti ini sekarang??!! Pandangannya terhadapku ini justru yang membuatku akhirnya tidak bisa seperti dulu lagi. Aku berusaha untuk masih sama. Tapi itu sulit bagiku. Seandainya Kamu tahu, Zeel. Apapun yang Kamu lihat, aku tidak pernah berpikir untuk menyingkirkanmu sebagai sahabat pertama dan terbaikku. Aku telah memahamimu, begitupun sebaliknya. Jadi, ayolah jangan Kamu rusak persahabatan ini dengan prasangka burukmu.

Suatu hari, aku lihat sepatunya rusak. Padahal waktunya mendapat kiriman uang masih lama. Terlalu parah rusak sepatunya. Aku yakin, ucapan apapun yang kuucapkan tentang ini malah membuat dia jengkel, sok perhatian menurutnya.

Hari minggunya, saat kuliah libur dan dia tidak pergi kemana-mana. Diam-diam ku ambil sepatunya. Aku pergi ke tukang sol sepatu yang biasa ku lihat di pinggir jalan. Aku minta Tukang sol memperbaiki sepatu itu sebaik mungkin.

Selasai diperbaiki, aku pulang. Aku diam-diam menaruh lagi sepatunya di rak. Ups! Zeel melihat.

“Ngapain Kamu?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline