Lihat ke Halaman Asli

Nilai Toleransi yang Mengakar di Indonesia

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dua sisi koin kebenaran

Seorang pemikir filsafat asal Jerman bernama Schuon, menjelaskan aspek kebenaran menggunakan perumpamaan mutiara dan kerang, yaitu untuk menunjukkan bahwa konsep kebenaran itu ada yang bersifat esoteris dan ada yang bersifat eksoteris. Ada kebenaran sebagai mutiara kebenaran itu sendiri, yaitu hakikat kebenaran, dan ada pula kebenaran sebagai kerang yaitu penampakan luarnya.

Apa yang sering kita dengar bahwa kebenaran itu mutlak, kebenaran itu satu dan absolut, ini adalah ungkapan tentang kebenaran secara esoteris. Ini lah mutiara kebenaran. Kebenaran ini bermakna realitas hakiki yang tak diragukan lagi kebenarannya. Ketika kita melihatnya, hanya itu lah kebenaran dan selainnya adalah batil. Dia lah satu-satunya yang sebenar-benarnya ada, sedangkan selainnya adalah fatamorgana. Dia Yang Maha Benar, Realitas Hakiki, selainNya tidak ada.

Kebenaran esoteris ini tidak bisa didekati dengan alat indrawi atau pemikiran awam biasa. Hanya orang yang telah mencapai tingkat keyakinan tertinggi yang dapat melihat realitasNya. Bahkan untuk membayangkannya pun tidak akan sampai, Dia bukan dalam bayangan imaji, namun justru dalam penglihatan realitas aktual yang sebenarnya. Kebenaran hakiki ini hanya orang yang mata penglihatannya sudah bersih dari hijab materi dan belenggu hawa nafsu, karena Dia sendiri pun suci dari segala belenggu keterbatasan. Apa yang diupayakan oleh orang-orang seperti melakukan banyak amal ibadah, memperdalam pengetahuan dengan serius, atau ritual agama tertentu tujuannya adalah mendapatkan penglihatan kebenaran secara esoteris, sifatnya personal dan subjektif, hanya diri sendiri yang menyaksikan dan mengalaminya.

Di sisi lain, ada kebenaran yang bersifat relatif. Ini bisa terjadi karena manusia tercipta dengan beragam dimensi yang bergradasi. Pada dimensi yang rendah, manusia akan melihat kebenaran memiliki banyak sudut pandang. Dan ini bukan tentang derajat kedudukan manusia, namun memang pada dasarnya manusia memiliki dimensi penglihatan relatif, dan dimensi penglihatan mutlak. Keberadaan manusia di dunia ini, dunia yang serba terbatas, meniscayakan kita untuk menerima kenyataan akan adanya keberagaman kebenaran. Ini lah lah mata sisi kebenaran eksoteris.

Dalam analogi yang diutarakan oleh Maulana Rumi, kebenaran mutlak ketika ditangkap oleh penglihatan-penglihatan eksoteris, bagaikan sekelompok orang di dalam ruangan gelap lalu mereka merasakan keberadaan suatu benda besar. Saat diraba, satu orang menemukan bahwa sesuatu yang besar itu semacam tiang besar. Satu lagi berpandangan bahwa itu adalah lapisan daun raksasa yang tebal, namun yang lainnya berpendapat itu adalah selang besar yang kasar. Ketika mereka telah tercerahkan oleh cahaya, mereka baru tahu secara keseluruhan benda itu seperti apakah sebenarnya. (Ternyata itu adalah apa yang kita namakan gajah)

Pluralisme atau Non-Toleransi (?)

Paparan di atas merupakan pengantar untuk argumentasi tentang keberagaman beragama atau keyakinan tentang ketuhanan. Selain itu, gagasan moral untuk menghadapinya secara sosiologis juga akan disampaikan oleh penulis. Pertama, konsep ketuhanan sejalan dengan konsep kebenaran. Kenyataan bahwa manusia berada dalam dimensi materi, dan juga pengalamannya dibatasi oleh ekspresi bahasa, ini meniscayakan adanya relatifitas terkait konsep ketuhanan. Kedua, namun pada kenyataan lainnya, setiap konsep ketuhanan hadir dalam rangka untuk mengekspresikan keberadan suatu Realitas yang sama, yaitu Realitas Wujud Yang Maha Esa dan kita menyebutNya sebagai Tuhan. Maka, kita menemukan bahwa dalam perbedaan ini sebetulnya kita sama-sama bergandengan tangan menuju penghayatan sutu realitas Wujud Yang Satu, yaitu Tuhan.

Tak asing lagi bagi kita bahwa keberagaman beragama berkaitan dengan pluralisme. Pluralisme sendiri berasal dari kata plural dan isme, yang berarti banyak dan pemahaman, yaitu pemahaman yang banyak. Salah satu pemikir bercorak pluralisme adalah Cak Nur, namun oleh beberapa kalangan dia kurang diterima karena dipandang keluar dari konsistensi nilai kebenaran agama-Islam. Sebetulnya, ini lagi-lagi tentang perspektif, yaitu bagaimana memahami pluralisme itu sendiri.

Pluralisme tidak musti dipahami sebagai non-konsistensi kebenaran mutlak. Pluralisme, sebagaimana dipahami oleh Schoun, terletak pada ranah eksoterik. Maksudnya, layak bagi kita untuk menerima kenyataan konsep keagamaan itu juga merupakan produk dari latar belakang sosial dan psikologis, serta dalam pendekatan lain agama adalah hasil dari ekspresi simbolis (bahasa, ritual, dan sebagainya) yang terbatas, dengan makna hakiki yang sebetulnya tidak terbatas oleh ungkapan apapun, yaitu makna kebenaran Absolut. Membahas agama menjadi menarik untuk dibahas secara khusus, dan ini secara sederhana seperti seorang pujangga yang ingin mengungkapkan kedalaman perasaan cintanya dalam ungkapan bahasa. Sebetulnya bahasa tak mampu mewakili kedalaman rasa cintanya. Puisi adalah perwujudan dari kedalaman pemahaman atau perasaan yang tak bisa ungkapkan sepenuhnya oleh bahasa.

Beberapa tokoh pluralisme, diantaranya John Hick, memposisikan setiap keyakinan beragama benar secara merata, hingga mereduksi nilai esoteris agama seakan hanya sebuah kenyataan tentang perbedaan sudut pandang. Ini lah yang menggiring manusia pada liberalisme, yaitu kebebasan memilih keyakinan tanpa ada nilai benar dan salah, lalu jadilah relatifitas yang bersifat absurd. Penulis tidak akan membahasnya lebih lanjut, hanya sebagai perkenalan saja. Umumnya, atas nama toleransi mereka berpandangan bahwa plurasisme yang liberalis itu tepat.

Pluralisme di atas seakan membuat kita pada akhirnya harus memilih, antara mempertahankan keimanan (tidak pluralis) atau non-toleransi (pluralis). Sehingga seakan, pluralis itu orang yang tidak menjaga keimanannya dengan tegas. Namun, sebetulnya tidak mesti begitu. Kita tidak terjebak dalam dua pilihan saja. Justru, sejatinya, keimanan mengajak kita untuk menjaga toleransi antar umat beragama.

Salah satu kebanggaan saya sebagai warga negara Indonesia adalah karena prinsip keimanan pada Tuhan yang musti, universal, tidak kaku, dan tidak ketat. Pansacila yang menjadi kebanggan kita berbunyi bahwa warga negara Indonesia meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa, dan kerakayatan negeri kita dipimpin oleh hikmat dan kebijaksaan. Kalau boleh dikata, negeri kita justru cenderung pada nilai esoteris, keuniversalan, dan hikmah pokok,  ketimbang keimanan beragama yang eksoteris, rasis, dan bersifat homogen. Negri kita cenderung pada nilai moral dan kebijakan yang universal, dan kalau kita mau menoleh ke belakang ini lah yang ditanamkan oleh nenek moyang kita dahulu kala. Bila saja kita masih mau menghidupkannya, merenungkannya, betapa ajaran pluralisme, toleransi, dan nilai ketuhanan secara esoteris kental dalam moral dan etika nusantara.


Raja Siliwangi, yang jadi tokoh besar dalam sejarah perkembangan Kerajaan Pajajaran, pada akhir hidupnya—berdasarkan referensi yang saya dapatkan--menjalani jalan “sufistik” dengan menjauhi kehidupan duniawi dan melakukan semedi di tempat jauh dari keramaian sebagai bentuk penyucian diri. Kean Santang, anaknya, sangat mengharapkan ayahnya menganut agama Islam. Namun, setelah dia berhasil menemui sang ayah dalam pengasingannya yang tersembunyi, dan mengajaknya mengimani ajaran agama Islam, dia pulang dan mengurungkan hasratnya. Prabu Siliwangi berkata, “Engkau berada di ujung sana, sedangkan aku di ujung sini.” Kean Santang mendapati ayahnya telah menemukan jalannya sendiri untuk meniti hakikat kebenaran. Saya percaya, walaupun begitu, hati Siliwangi telah mencapai level hatinya seorang muslim yang hakiki. [sejarah Prabu Siliwangi sebetulnya masih belum terferivikasi, simpang siur, dan sensitif. Tapi, saya punya pendirian bahwa Kerajaan Pajajaran, merepresentasikan budaya Nusantara dahulu kala, memiliki prinsip kearifan moral yang luhur, dan filosofis.]

Jadi, yang ingin saya sampaikan di sini, di dunia modern saat ini, bukan saatnya lagi kita terlalu meributkan soal perbedaan keyakinan dari kulitnya; agama apa dan mazhab apa yang dianut. Setiap orang memiliki haknya masing-masing untuk menghayati nilai ketuhanan. Justru, yang perlu dipasangkan label kuning tanda seru saat ini adalah pihak yang menuntut keseragaman dalam keimanan, pemaksaan dalam beragama, dan pemusnahan keimanan yang dianggap sesat. Bagaimanapun, NKRI kita tetap harus terjaga, menjaga nilai-nilai pancasila. Pancasila kita sudah begitu indah dan mengandung nilai kebenaran yang universal, mendekati makna yang absolut. Jangan sampai dirusak sehingga keluhuran makna jadi anjlok.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline