Lihat ke Halaman Asli

Diah Utami

Pengamat

Mengenal Sosok Tomihiro Hoshino

Diperbarui: 11 Maret 2018   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku dan istri Onoue-san.

Dalam sebuah kesempatan, Onoue-san beserta istrinya mengajakku berjalan-jalan. Dia adalah salah seorang staf kantor urusan mahasiswa asing di Universitas Gunma yang membantuku menjalani hari-hari awal di Maebashi. 

Dia ramah, dan sudah berkali-kali mengajakku makan siang atau sekedar berkunjung ke rumahnya. Akhirnya, dalam satu kesempatan di musim gugur yang bertepatan dengan bulan Ramadhan, aku sempatkan juga untuk menyambut tawarannya.

Pada hari itu, dia dan istrinya membawaku berjalan-jalan ke beberapa tempat yang indah di musim gugur, melihat pemandangan hutan yang merona merah atau berangsur kuning kecoklatan, segar sekali. Kami sempatkan juga untuk mengunjungi salah satu dam penampungan air dari salah satu sungai di provinsi Gunma yang jadi kebanggaan penduduknya. Mohon maaf, aku tidak begitu terkesan, karena Jatiluhur lebih besar dari itu. 

Yang membuatku sangat terkesan dari acara jalan-jalan sehari itu adalah ketika kami mengunjungi sebuah museum lukisan agak di luar kota. Museum Hoshino Tomihiro, seorang pelukis dan penulis puisi kebanggaan masyarakat Gunma.

Masuk ke ruang pertama museum itu, kami disambut oleh dinding besar bertuliskan susunan huruf-huruf katakana yang ditulis secara kurang sempurna. Berantakan, seperti tulisan seorang anak yang baru mulai menulis. Teks di sebelah gambar itu menyebutkan bahwa tulisan itu adalah tulisan Hoshino-san yang pertama. Sempat kupikir,'Apa istimewanya?' Seorang anak SD kelas 1 sudah akan bisa menulis huruf katakanadengan jauh lebih baik daripada itu.

Menyusuri ruang demi ruang museum itu, kulihat gambar beragam bunga. Bunga biasa, sebetulnya, yang biasa ditemui di pekarangan, bunga rumput, bahkan kadang 'hanya' lukisan sebatang bunga dari sayuran yang biasa kita makan. Yang membuatnya unik adalah menyertai setiap gambar, selalu ada puisi yang berkaitan dengan gambar itu.

Mahkota Duri

Ketika kau bisa bergerak tetapi harus diam,

Kau perlukan daya tahan

Tapi ketika engkau seperti diriku,

dan tak bisa bergerak,

Siapa yang memerlukan daya tahan untuk tetap diam?

Dan segeralah,

Temali berduri, daya tahan

Yang melingkari tubuhku

Terlepas...

Puisi ini terletak bersisian dengan gambar bunga euphorbiayang dinamai Crown of Thornsatau Mahkota Duri. Renungkan makna puisi itu dalam-dalam, dan... KLIK!!! Sebuah kesadaran menjentik pikiranku. Pelukis dan penulis ini tak bisa bergerak? Sehingga dia bahkan tidak memerlukan daya tahan untuk tetap diam.

Ketika kutanyakan hal ini pada Onoue-san, yang menjadi pemandu amatir hari ini, dia kemudian menjelaskan bahwa Hoshino-san adalah seorang pelukis yang mengalami kelumpuhan syaraf tulang belakang. Dia tidak bisa menggerakkan bagian bawah tubuhnya mulai dari leher hingga kaki!! Mengetahui kenyataan itu, subhanallah... sebuah pujian terungkap pada Allah SWT semata.

Beliau telah kehilangan kemampuannya untuk bergerak sejak tahun 1971, pada saat beliau menjadi pengajar mata pelajaran pendidikan jasmani di sebuah Sekolah Menengah Pertama di Jepang. Sebuah kesalahan fatal merenggut kemampuan geraknya seketika. Ini terjadi di depan murid-murid yang sedang menunggunya untuk melihat beliau mencontohkan sebuah teknik lompatan senam dan menunggu giliran untuk melakukan hal serupa.

Setelah pemanasan seperti biasa, aku bersiap untuk membuat lompatan ke udara dengan tangan terentang tinggi. Badanku akan melayang di udara seolah ia mengikuti lenganku.

Pada saat tubuhku dalam kondisi puncak, satu atau dua detik di udara terasa lebih panjang, seperti hari ini.

Kali ini sommersault-ku, -telah berapa kali kulakukan itu?- membuatku mendarat secara tak terduga dengan kepala lebih dahulu di atas matras tempat mendarat. Aku berbaring pada punggungku di sana, tanpa kekhawatiran sedikitpun di kepalaku. Hanya seperti peristiwa jatuh biasa yang kadang-kadang kulakukan, pikirku.

Walaupun demikian, aku tak dapat bangkit. Lalu aku ingat bahwa pada saat mendarat tadi aku mendengar sebuah suara krak, seperti sesuatu yang hancur di belakang kepalaku. Sekarang aku merasakan keringat dingin di dahiku....

(diterjemahkan dari buku Autobiografi Hoshino Tomihiro, "Here So Close But I Didn't Know")

Hanya sebuah kesalahan pendaratan kecil, pikir Hoshino-san pada saat itu, tapi ternyata kecelakaan itu membuatnya harus melewati masa kritis antara hidup dan mati selama berhari-hari, yang dilanjutkan dengan 9 tahun perawatan di rumah sakit. Sungguh berat! Dengan tak ada lagi daya untuk menggerakkan tubuh kecual dengan bantuan orang-orang terbaik di sekitarnya, ibunya yang tak kenal henti merawatnya, dokter dan perawat, hingga beliau pun menemukan istrinya di masa itu.

Satu masa titik balik yang membuatnya bangkit adalah ketika beliau diminta untuk menuliskan kata-kata penyemangat bagi seorang kawan kecil yang juga dirawat di bangsal yang sama dengannya. Alih-alih menulis kalimat, beliau hanya mampu 'menuliskan' nama pendek Tomi dengan spidol yang ditaruh di mulutnya. Sebetulnya, ibunyalah yang menggerakkan topi itu hingga membentuk tulisan kanji untuk namanya. Beliau sangat malu untuk mengakui hal tersebut, hingga kemudian bertekad untuk belajar menulis lagi dengan menggunakan mulutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline