Lihat ke Halaman Asli

Diah Utami

Pengamat

Jadi Muslim di Negeri Orang

Diperbarui: 27 Januari 2018   17:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presentasi tandem di sebuah Sekolah Dasar (Dokumentasi Pribadi)

Berada di lingkungan yang mayoritas non-muslim bahkan nyaris non-agamis membuatku sungguh merasa rindu suasana Islami di tanah air. Shalat berjamaah sulit dilakukan karena memang jamaahnya tidak berkumpul di satu tempat dan satu waktu. Komunitas Indonesia pada saat itu sangat sedikit. 

Dalam masa 6 bulan pertamaku di sana, hanya aku dan Faried, seorang mahasiswa program doctoral yang menjadi warga Indonesia di sana. Sebetulnya ada beberapa trainee lain yang sempat kutemui, namun kami tinggal di tempat yang saling berjauhan. Beberapa mahasiswa Malaysia menjadi kawan yang cukup kuakrabi, terutama karena kemiripan budaya dan bahasa yang kami miliki.

Ramadhan pertama di sana, kujalani nyaris tanpa kesan. Sahur dan berbuka kujalani sendiri atau kadang bersama seorang muslimah Tunisia yang menjadi tetanggaku di asrama mahasiswa asing yang dimiliki oleh kampus Universitas Gunma. 

Saat Idul Fitri, sedih sekali karena kami tidak bisa libur dari kegiatan kampus. Sesi belajar masih berjalan dan Jepang tidak mengenal libur Idul Fitri. Boro-boro libur untuk mudik... di hari rayanya saja tanggalan kalender tetap hitam. Jadi dengan berat hati, kami tetap mengikuti sesi belajar pada hari fitri itu. Ganbatte...!!!

Hal yang cukup membuatku terhibur adalah adanya undangan makan bersama dari kumpulan mahasiswa Malaysia yang jumlahnya cukup banyak di Maebashi. Mereka berbusana khas Malaysia berupa baju kurung panjang yang cantik-cantik. Aku pun berbusana rapi untuk hari istimewa itu, dengan rok batik panjang, plus perjuangan mengayuh sepeda menerjang angin Maebashi untuk datang ke acara yang diselenggarakan di ruang bersama kampus kami.  

Acara syukuran Idul Fitri yang diselenggarakan pada hari kedua lebaran itu dihadiri juga oleh beberapa mahasiswa Jepang dan mahasiswa asing lainnya. Hidangan yang disiapkan adalah hidangan melayu yang cukup memanjakan lidah. 

Opor dan lontong menjadi pengganti ketupat sayur yang menjadi hidangan khas lebaran. Kering bihun pedas dan laksa membuat lidah tamu-tamu berkebangsaan Jepang menjadi megap-megap kepedasan, namun beberapa jenis kue dan agar-agar santan menjadi penutup yang manis dari acara tersebut.

Ramadhan keduaku di sana, kujalani dengan lebih menyenangkan. Bertambahnya warga Indonesia yang belajar di sana membuat komunitas kami sedikit bertambah besar. Seorang peneliti dari sebuah lembaga pemerintah di Bandung sempat menjadi tetangga kamarku di asrama. 

Karena kami sama-sama lajang, beberapa kali kami sempat saling menginap setelah kami harus keluar dari asrama kampus dan tinggal di apartemen masing-masing, sedangkan Faried pun kemudian membawa istrinya, Leri, untuk tinggal di Maebashi dan bersama-sama mengambil program doktor. Aku dan Leri kemudian menjadi akrab juga dan beberapa kali saling berkunjung dan bereksperimen memasak bersama.

Acara buka bersama yang di Indonesia kadang sulit kuhadiri seluruhnya (karena diundang pada hari dan waktu yang bersamaan), di Jepang nyaris tak bisa kulakukan. Sesekali saja, aku dan seorang teman dari Indonesia atau Tunisia berbuka puasa bersama secara bergantian di kamar kami di asrama. 

Memang ada beberapa mahasiswa muslim dari Malaysia, juga kawan-kawan dari Pakistan, ataupun Mesir yang membuatku sangat merasakan artinya persaudaraan dalam Islam, tapi tetap saja jumlah kami relatif sedikit. Kerudung yang kukenakan membuat aku dan beberapa teman akhwat (terutama dari Malaysia dan Mesir) terlihat berbeda, dan lagi-lagi menimbulkan banyak pertanyaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline