"Jangan panggil Hiro-kun." Ujarnya di pertemuan awalku dengannya. "Hiro saja."
Tapi... bukankah sapaan "kun" itu pertanda keakraban untuk laki-laki Jepang? Tukasku saat itu. "Iya, tapi Diah-san bukan orang Jepang kan?" timpalnya lagi. Ah... dia sendiri masih memanggilku dengan tambahan sapaan "san" yang merupakan penghormatan buatku. Tapi lama kelamaan, kami saling memanggil dengan Hiro dan Diah saja. Memang terasa lebih akrab.
Siang itu kulirik jam di atas meja. Lima menit menjelang jam 1 siang, waktu pertemuanku dengan Hiro, tutorku. Tak mungkin aku sampai di kampus hanya dalam waktu 5 menit dari apartemenku.
Kukirim pesan pendek melalui ponsel untuk memintanya menunggu. Mudah-mudahan aku sudah sampai di kampus sebelum pukul 13.10. Segera kukayuh pedal sepedaku di jalanan lengang siang itu.
Hanya di persimpangan jalan aku harus menunggu beberapa saat hingga cukup aman untuk menyeberang. Ponselku berbunyi. Sebuah pesan dari Hiro masuk. Katanya, dia pun akan terlambat karena sedang dalam perjalanan setelah makan siang dengan kawan karibnya. Ah... legalah aku.
Malu untuk kuakui, di Indonesia aku cukup sering terlambat menghadiri acara ini dan itu. Di Jepang, yang kabarnya terkenal sebagai negeri dengan penduduk yang sangat menjunjung tinggi disiplin dan ketepatan waktu, tentu aku menyesuaikan diri.
Aku berusaha keras untuk datang tepat waktu pada saat kuliah, pertemuan dengan teman-teman, dan janji lainnya. Tidak mudah memang, tapi kurasa aku cukup berhasil.
Walaupun demikian, ternyata tutorku ini tidak termasuk ke dalam tipikal orang Jepang yang sangat ketat pada jadwal. Soal janji pertemuan yang rutin kami jadwalkan, tidak hanya sekali-dua kali dia terlambat datang.
Aku sih maklum saja... lha wong aku sendiri juga tidak jauh berbeda dengan dia kok. Mungkin memang kami ditaktirkan untuk bertemu, supaya saling mengerti. Hehe...
Pertemuan rutin kami tidak sengaja dijadwalkan untuk membahas masalah tertentu, tapi diagendakan secara fleksibel saja. Senangnya, Hiro ini punya pemahaman yang luas tentang budaya Jepang, sehingga aku bisa belajar banyak darinya.
Sebelum kepulanganku ke Indonesia, aku membeli beberapa barang khas Jepang dari Hyaku-en shop, toko serba 100 yen. Murah meriah. Salah satu benda yang kubeli adalah kantong serut bertuliskan huruf hiragana. Ketika kutunjukkan benda itu pada Hiro, aku sempatkan untuk bertanya.