"Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-Nya. Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang, dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"
(Q.S. 55, Ar Rahmaan: 10-13)
Ketika Teh Dini, salah seorang mahasiswa Indonesia asal Bandung, ikut bergabung bersamaku di kota kecil Maebashi yang damai, kami langsung jadi akrab. Dia adalah mahasiswa program S-2 yang dikirim tugas belajar oleh departemen tempatnya bekerja. Sebagai mahasiswa, dia tentu berhak mendapatkan seorang atau dua orang tutor yang akan membantunya menjalani kehidupan belajar di universitas. Tutor-tutor kami pun jadi akrab bersama.
Dalam satu kesempatan, aku dan Teh Dini berencana untuk menjamu tutor kami dengan makanan khas Indonesia. Kami pun merencanakan menu yang akan kami sajikan dengan cermat. Kami ingin menghidangkan masakan khas Indonesia yang enak, namun tidak rumit untuk memasaknya. Segera, kami pun sepakat untuk membuat nasi kuning (instan...) dengan gado-gado, ayam goreng kuning, bakwan udang, abon sapi, dan emping yang dilengkapi pula dengan sambal botol yang bisa kubeli di sebuah toko di Kota Oizumi. Kami buat pula puding santan dengan gula merah sebagai hidangan pencuci mulut.
Pada hari yang ditentukan, datanglah tutor kami beserta 2 orang teman dari tutorku. Teh Dini sendiri punya dua orang tutor. Hmm... Jadilah kami bertujuh malam itu makan malam bersama sambil berbincang-bincang.
"Oishisou...!" Itu adalah kata pertama yang diucapkan seorang Jepang pada saat di depannya terhidang makanan. Dan memang, secara otomatis kelima orang Jepang yang bergabung di ruang rekreasi bersama yang "disulap" jadi ruang makan itu secara nyaris bersamaan mengucapkan kata yang sama. Oishisou ini kurang lebih berarti, "Kelihatannya enak!" Mereka memang baru melihat bentuknya, atau menghirup aromanya saja, tapi ungkapan itu langsung terucap dari mulut mereka.
Sebelum mulai makan, mereka juga nyaris serentak mengucapkan kata "Itadakimasu!" yang kurang lebih berarti, "Kami terima makanan ini." Sepanjang acara makan, nyaris tanpa henti juga mereka memuji masakan yang kami hidangkan. "Oishii! (enak!)" ujar mereka berulang-ulang. Bahkan mereka tetap berkomentar oishii pada bumbu gado-gado yang ternyata pedas sekali! Mereka sebetulnya sangat tidak biasa dengan rasa pedas cabai. Masakan Jepang rata-rata berasa manis atau asin/gurih. Ketika mereka menjajal bumbu gado-gado yang (buatku sendiri sekali pun) pedas? Sshhh.... Tetap... "Oishiii!" ujar mereka. Subhanallah.
Ungkapan penghargaan orang Jepang pada makanan sungguh sangat tinggi. Apa pun yang disajikan, mereka biasa menyatakan ungkapan tersebut. Sungguh menghargai makanan, dan itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Mungkin kata tersebut sudah secara otomatis mereka ucapkan setiap kali menemui hidangan, tapi terlihat bahwa mereka memang bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Awalnya kupikir, ungkapan itu hanya diucapkan pada saat mereka dijamu makan, untuk menghargai tuan rumah. Tapi ternyata... aku masih sering mendengar kata itu diucapkan berkali-kali oleh kawan-kawan Japanese yang lain.
Dalam satu kesempatan, guru bahasa Jepang kami mengajak untuk makan bersama, merayakan usainya masa belajar pada semester berjalan. Ah, setuju! Melepas sesi belajar yang ketat dan kadang menegangkan, rasanya pantas untuk dirayakan dengan makan-makan di restoran. Maka kami pun mendatangi sebuah restoran Jepang yang chic.
Dua buah meja kami gabungkan untuk mendapatkan suasana akrab antara guru dan murid yang kadang tak bisa kami temui di kelas. Segera, kami pun mulai memesan makanan yang sebetulnya masih asing bagi kami. Saya sendiri memesan nasi dengan lauk ikan semacam lele yang dibumbui kecap. Hm... tampak sedap, pikirku.