Lihat ke Halaman Asli

Diah Utami

Pengamat

Pagi di Supermarket

Diperbarui: 9 Desember 2017   05:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Pagi hari di Jepang. Dari lapangan di belakang asramaku, sekitar lepas duha, mulai terdengar keletak-keletok bola kayu dipukul. Beberapa orang kakek dan nenek sedang bermain gate ball, semacam kombinasi antara kriket dan bilyar yang dimainkan di lapangan tanah liat. Jalanan mulai ramai oleh pelajar, mahasiswa, bahkan para pekerja yang berseliweran dengan kendaraan mereka masing-masing. 

Mobil-mobil kecil memadati jalanan lempang di kota kecil Maebashi, dan sepeda beragam rupa berpapasan di trotoar lebar yang diperuntukkan bagi pengendara sepeda dan pejalan kaki. Anak-anak SD berjalan kaki berkelompok. Beberapa toko 24 jam terlihat sudah mematikan lampu-lampunya dan memulai kegiatan pagi, namun toko reguler dan supermarket baru akan membuka pintunya untuk pengunjung pada pukul 10 pagi.

Suatu hari, kawan karibku Barbara, seorang berkebangsaan Slovenia sesama mahasiswa asing, menyempatkan diri untuk menginap di kamar asramaku yang relatif sempit. Sempit, bila dibandingkan dengan kamar apartemennya yang punya ruangan lebih besar (tapi tentu saja dengan uang sewa yang lebih mahal pula). Dia pun sekalian datang untuk mencuci bajunya di ruang laundry asrama kami yang relatif murah.

Pagi itu, sambil menunggu pakaiannya kering di mesin cuci, baru kusadari bahwa aku tak punya cukup makanan untuk sarapan. Kebetulan, Barbara pun berniat untuk sedikit belanja mingguan untuk persediaan di apartemennya, maka kami pun memutuskan untuk menunggu jam 10 dan berkunjung ke Saty, supermarket yang cukup lengkap tidak jauh dari asramaku, tak sampai 5 menit berjalan kaki.

Setelah mandi dan berdandan, aku dan Barbara bergegas menuju Saty. Belum banyak sepeda terparkir di sana, yang menunjukkan belum banyaknya pengunjung di pagi seperti itu. Kami kemudian memasuki area supermarket itu sambil mengobrol ringan. Beberapa pramuniaga sengaja berdiri di depan countermereka untuk menghormati pengunjung. "Irasshaimase...!" sapa mereka yang kurang-lebih berarti 'Selamat datang'. 

Tak lupa mereka lakukan sambil membungkukkan badan dengan takzim, plus sesungging senyum ramah di wajah mereka. Aku dan Barbara yang tidak biasa melihat aksi tersebut menjadi salah tingkah. Di bagian dalam pun, beberapa pramuniaga yang belum sibuk dengan kegiatan mereka menyempatkan diri untuk menyapa pengunjung dengan sapaan hormat tersebut. Woww... Perbincanganku dan Barbara kemudian beralih ke topik tersebut.

Di Indonesia maupun Slovenia (uhm, di tahun 2002-an yaa), rasanya kami belum pernah mendapati pramuniaga yang menyapa pengunjung dengan ramah seperti itu. Karena kami tidak biasa melihat dan mendapat perlakuan seperti itu, maka perilaku pramuniaga di Jepang menjadi terasa luar biasa walaupun kami sempat merasa kurang nyaman karenanya. Tapi dalam diskusi kami kemudian, kami rasakan bahwa hal tersebut membuat kami senang karena merasa dihargai, dibuat welcome, dan rasanya ingin kembali berkunjung ke sana. Bukankah ini bagian dari servis yang menyenangkan bagi pengunjung? Aku dan Barbara sepakat tentang hal itu. Bagaimana dengan Anda?

Ternyata, pramuniaga di bagian dalam supermarket pun tidak kalah ramahnya. Ketika kami kebingungan mencari suatu benda, kami tak akan ragu untuk bertanya pada mereka, walaupun aku sendiri hanya tahu bahasa Jepang sederhana, semacam,"Toufu wa doko ni arimasu ka?" (Tahu ada di mana ya?). Mereka akan dengan ramah menunjukkan tempat yang dimaksud. 

Bukan hanya menunjukkan arah ke tempat yang dimaksud, tapi mengantarkan kita hingga ke depan counteryang dituju. Senangnya mendapat perlakuan ramah seperti itu. Rasanya aku jadi customerpaling istimewa bagi mereka. Terasa sekali penerapan ungkapan bahwa "pembeli adalah raja" di sana. 

Awalnya aku merasa bahwa perlakuan seperti itu hanya berlaku untuk kami yang memang jelas terlihat sebagai orang asing di mata mereka. Barbara yang berkulit putih dan berambut pirang, atau aku yang bermata lebar, berkulit kecoklatan dan berkerudung mungkin dianggap kurang pandai berbahasa Jepang (dan untukku memang benar adanya. Hehe...), sehingga akan lebih praktis untuk membawa kita menuju tempat yang dimaksud daripada sekedar memberi petunjuk untuk menuju tempat yang diinginkan. 

Terus terang, memahami petunjuk arah dalam bahasa asing seperti rak ke sekian dari tempat kita sekarang berada, belok kiri, kanan, dst dst merupakan hal yang tidak mudah, dan bantuan pramuniaga di supermarket seantero Jepang sangat... sangat memuaskan. Tampaknya, perlakuan serupa juga mereka berlakukan sama kepada pengunjung berkebangsaan Jepang. Betul-betul servis yang menyenangkan. Dan hal ini tidak hanya terjadi di satu supermarket. Di beberapa supermarket yang pernah kudatangi, pelayanan serupa juga kudapati dengan keramahan yang sebanding.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline