Lihat ke Halaman Asli

Diah Utami

Pengamat

Surat Untuk Mas Budi

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mas Budi yang saya hormati,

Bersama surat ini saya ingin memberi tahu bahwa mulai pekan depan, saya sudah tak akan bekerja lagi di sini. Saya pergi setelah mempertimbangkan berbagai hal, kalkulasi di atas kertas, juga ‘konsultasi’ intens dengan Sang Penguasa Hati, di atas sajadah yang tak jarang masai karena air mata. Bahwa keputusan saya untuk pergi, bukan semata-mata karena keberadaan Mas Budi di sini. Bukan hanya karena saya ingin menghindari pertemuan yang saya rasa sudah tak lagi sehat untuk dijalani, terutama bagi saya sendiri. Saya pergi untuk menyelamatkan diri dari keinginan hati yang semakin tak terkendali, untuk memiliki mas Budi, untuk bersatu dalam pernikahan Islami, yang saya rasa… saat ini hanya bisa terjadi dalam mimpi.

8 tahun saya mengenal Mas Budi. Bukan waktu yang sebentar ya untuk saling mengenali. Selama 7 tahun awal pertemuan kita, rasanya saya berhasil membentengi diri dan menjaga sikap sebagai rekan kerja. Profesional, namun di saat-saat tertentu bisa akrab juga, karena situasi perusahaan tempat kita bekerja yang menghendaki. Selama 7 tahun, saya merasa bisa memposisikan diri sebagai kolega yang… rasanya tidak jelek-jelek amat ya? Cukup baik bukan, dan bisa meninggalkan kenangan yang cukup manis saat kita berpisah.

Namun satu tahun terakhir ini saya memang merasa kurang nyaman, karena perhatian Mas Budi yang semakin nyata, baik berkaitan dengan pekerjaan maupun hal lain di luar itu. Bukannya saya tak menyenanginya, tapi karena saya harus tahu diri, dan sangat saya sadari, bahwa Mas Budi tak lagi sendiri. Mas Budi sudah memiliki anak-anak dan istri yang Mas cintai lebih dari diri Mas sendiri. (Betul kan? Saya bisa merasakan aura cinta Mas Budi kepada mereka dari kata-kata yang Mas ucapkan saat bercerita tentang mereka kepada saya).

Sering saya heran sendiri, kenapa hal-hal pribadi dalam keluarga ‘berani’ Mas ceritakan kepada saya, yang notabene adalah outsider di keluarga Mas? Misalnya, ketika Mas Budi tertimpa musibah beberapa waktu yang lalu. Mas ceritakan pada saya bahwa hal itu cukup membebani pikiran mas, dan membuat sesi shalat mas Budi semakin panjang. Beberapa kali tertidur di atas sajadah, hingga diminta pindah oleh istri tercinta. Bukankah itu momen yang sangat pribadi? Kenapa membicarakan hal itu pada saya?

Mas ceritakan tentang anak sulung mas yang sempat ikut tes psikologi dan mas sampaikan hasilnya pada saya. Sempat ingin bertanya, apa perlunya? Tapi saya toh menyediakan telinga juga. Mas cerita tentang sakitnya si kecil yang sempat membuat mas dan istrinda selalu terjaga. Kali lain, mas cerita tentang kondisi rumah, hingga hampir tergambar rasanya suasana di dalam rumah yang mas huni bersama istri dan keluarga saat ini. Kurang pribadi apa, berita seperti itu mampir di telinga saya? Maksudnya apa? Mas bilang, kelak saya juga akan mengalami hal serupa. Saya nggak ngerti, mas, dan saya sebetulnya agak risih mendengar berita-berita bernuansa pribadi semacam itu. Posisi saya ada di mana sehingga mas mempercayakan berita dari rumah sedemikian itu? Sekali lagi, saya hanyalah seorang outsider di keluarga mas. Tak selayaknya saya mendengar hal seperti itu.

Ada satu moment yang membuat saya tersanjung, terlambung ke langit hingga membuat sesak napas. Beberapa kali mas Budi katakan bahwa saya adalah salah satu inspirator bagi mas dalam berkarya. Itu sebetulnya sudah cukup membuat saya tersanjung. Tapi ketika mas menyerahkan draft naskah yang mas tulis untuk saya cermati, sebelum diajukan ke penerbit, WOW!!! Terbaca, ada nama saya tercantum di bagian depan, bersama sederet nama lain yang mas anggap layak diberi ucapan terima kasih karena kontribusi ide hingga mewujud naskah tersebut. Terasa sangat spesial, tapi tidak sepantasnya tercantum di sana. Karena sungguh, kontribusi saya (kalaupun ada), tentu tidak seberapa. Maka tolong, hapuslah nama saya dari lembaran itu.

8 tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebuah kebersamaan. Nyaris selama pernikahan mas Budi. Saya, bukannya tak ingin jadi bagian dari kehidupan mas Budi, tapi, mohon maaf… saya rasanya belum siap.

Belum siap dengan cibiran masyarakat dengan status sebagai istri kedua. Belum siap dengan sindiran orang sebagai perawan tua tak laku yang akhirnya menikah dengan ‘siapa saja’. Belum siap dengan tudingan sebagai perebut suami orang, walaupun dalam praktiknya (bila memang dijalani) saya ‘hanya’ masuk dalam lingkaran kehidupan mas Budi dan keluarga. Mohon maaf karena saya terlalu pengecut untuk memperjuangkan kebahagiaan dunia-akhirat saya. Tak perlu menunggu nanti/kelak, saat ini pun saya sudah menyesal.

Bersama surat ini saya ingin memberi tahu bahwa Mas Budi sudah memiliki tempat yang berarti di hati saya, tapi mohon maaf lagi… saya tak bisa memberikan hati saya sepenuhnya kepada Mas Budi. Karena hati saya hanya untuk suami, yang belum tahu kapan akan saya temui. Saat ini, izinkan saya pergi, membawa sebagian memori tentang hari-hari yang sudah kita jalani.

Titip salam untuk anak-anak dan istri. Tolong jangan ditafsirkan macam-macam, karena walau bagaimanapun, keluarga Mas Budi adalah saudara saya dalam Islam. Selamanya.

Salaam

Dewi Humayra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline