Lihat ke Halaman Asli

Perempuan yang (Tidak) Mencintai Hujan

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

ia ingin menghentikan hujan dengan serapah, sore itu,dengan geramnya ia mengacungkan sebuah pisau dapur yang diarahkan kelangit, “hentikan hujanmu…!” “aku sudah muak dengan senandung-senandungmu yang membosankan.” Namun hujan tak jua reda, hujan punya rencana lain untuknya. sebuah rongga dikerongkongannya tiba-tiba menyeruak, ia sekali lagi melayangkan serapahnya, serapah pada hujan yang tak kunjung memberikan ruang pada matahari untuk membagikan kehangatan untuknya. “apakah kau tuli?” nyatanya hujan tak menghiraukan keluhannya, sebaliknya titik-titik hujan semakin deras menghujam, langit semakin pekat, sesekali kilatan cahaya muncul dari belahan langit yang lain, diikuti gemuruh yang hadir setelahnya. “baiklah, jika itu maumu, teruskanlah hujanmu!.” “mungkin tak lama lagi Nuh dan bahteranya akan singgah dan memintaku ikut serta dalam pelayarannya, dan pasti dia yang mengirimkan hujan ini adalah salah satu awak dari bahtera Nuh, bukan?” dulu ia begitu mencintai hujan, memuja dan mendambakan hadirnya. Di bawah terpaan hujan ia menari dan merayakan kehidupan dalam gerak gemulainya yang tanpa beban. gemuruh halilintar, angin, kilatan cahaya dan bulir-bulir hujan bahkan awan nimbus yang kehitaman baginya adalah rangkaian simfoni dalam tarinya… amarahnya akan hujan, kian memuncak seiring  semakin sembabnya langit sore itu, amarah yang pula menuntunnya akan sebuah nama dari masa lalu, nama yang mungkin memberinya alasan akan hujan yang tak kunjung terhenti meski dengan ancaman sebilah pisau dapur. ia mulai merengkuh ponsel dalam tasnya. sebuah nomor muncul dari daftar kontak, nomor lama yang hendak ia kosongkan dari daftar ponselnya. "nah ini dia, 6660" " aku benci hujanmu, kau tahu itu kan! " " apa...?, aku tak mengerti apa maksudmu." " harusnya kau dikutuk atas perbuatanmu, kau tahu kan. sejak saat itu aku sudah muak dengan hujanmu dan apapun yang datang darimu!." " bahkan setelah sekian lama, hujanku pun tak kau kenali, sungguh hujan yang turun hari ini buakanlah bagian dari tanggung jawabku." " entah apakah aku harus percaya lagi padamu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline