Latar Belakang
Kota Surabaya merupakan salah satu kota besar yang terletak di Jawa Timur. Kota ini sering disebut sebagai kota pahlawan karena memiliki kisah sejarah yang cukup panjang, dari masa penjajahan hingga saat ini. Dalam perkembangannya kota Surabaya memiliki banyak perubahan dari masa ke masa. Mulai dari segi arsitektur/bangunan, kepemimpinan, tata letak kota, sosial ekonomi, kebudayaan hingga pendidikan. Seperti salah seorang tokoh yang memimpin dan juga memperkenalkan mengenai agama Islam di kota Surabaya yakni Sunan Ampel atau nama asli Raden Rahmat yang kemudian setelah beliau wafat dimakamkan di kawasan yang sekarang ini disebut kompleks Sunan Ampel Surabaya di bagian kawasan Arab.
Selain Sunan Ampel ada tokoh lain yang berjasa sebagai penyebar Islam di Surabaya yakni Pangeran Lanang Dangiran atau sering dikenal Sunan Botoputih. Sunan Botoputih merupakan seorang pangeran dari Blambangan dan putra dari Pangeran Kedawung yang memiliki peran dalam penyebaran Islam sekitar abad ke-15. Beliau wafat di usia 70 tahun pada 1638 silam. Beliau dimakamkan di wilayah pemakaman yang sekarang ini menjadi Pasarean Agung Sentono Botoputih. Dalam situs makam ini tidak hanya terdapat makam Sunan Watu Botoputih saja melainkan para keturunannya, para bupati Surabaya, kaum bangsawan hingga kalangan ningrat yang ada di Indonesia. Makam sendiri merupakan salah satu bukti peninggalan sejarah yang sering ditemui di berbagai daerah. Makam diartikan sebagai salah satu aspek subsistem religi dalam totalitas kebudayaan.
Analisis Multi Etnis Sentono Boto Putih
Sentono Boto Putih di Surabaya merupakan daerah yang dikenal dengan keragaman etnisnya. Di sini, berbagai etnis Indonesia hidup berdampingan, termasuk Jawa, Madura, Sunda, dan banyak lagi. Mereka membawa budaya, tradisi, dan makanan mereka sendiri, membuat daerah ini menjadi tempat yang kaya akan budaya dan sejarah. Masing-masing etnis memiliki peran dan kontribusi mereka sendiri dalam pembentukan dan perkembangan Surabaya sebagai kota yang maju dan beragam.
Masyarakat Sentono Boto Putih berasal dari berbagai suku bangsa, seperti Jawa, Madura, Sunda, dan banyak lagi. Masing-masing membawa budaya, tradisi, dan masakan khas mereka, menciptakan perpaduan yang unik dan menarik. Hal ini terlihat dari berbagai festival budaya, kuliner, dan kesenian yang diselenggarakan di kawasan ini. Setiap etnis di Sentono Boto Putih memiliki perannya dalam membangun Surabaya. Keterampilan dan keahlian mereka berkontribusi pada perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya kota. Contohnya, komunitas Tionghoa terkenal dengan keahliannya dalam perdagangan, sementara komunitas Madura dikenal dengan kegigihannya dalam bekerja. Meskipun memiliki latar belakang budaya dan tradisi yang berbeda, masyarakat Sentono Boto Putih hidup berdampingan dengan damai dan saling menghormati. Toleransi ini terjalin kuat dan menjadi contoh nyata bahwa keragaman dapat menjadi kekuatan, bukan perpecahan.
Kawasan Sentono Botoputih di Surabaya memiliki sejarah yang kompleks dan multi-etnis. Pada awalnya, kawasan ini berada di tengah-tengah perdagangan yang sangat aktif di Kalimas, sehingga banyak saudagar dari berbagai suku bangsa tinggal di sana. Dalam hal keagamaan, pengaruh suku bangsa juga sangat kuat, dengan adanya pemukiman suku bangsa asing seperti Melayu, Arab, dan Cina yang tersebar di kawasan ini. Dalam sejarahnya, Sunan Botoputih, yang juga dikenal sebagai Pangeran Lanang Dangiran, berperan penting dalam menyebarkan Islam di Surabaya. Beliau adalah pangeran dari kerajaan Blambangan dan putra Pangeran Kedawung. Sunan Botoputih meninggalkan kerajaan dan melaut selama berbulan-bulan, hingga terbawa ombak di Laut Jawa dan ditemukan di Gresik oleh Kiai Kendil Wesi. Setelah itu, beliau diminta menyebarkan Islam di Surabaya dan menetap di kawasan Pegirian, tepatnya di Dukuh Botoputih.
Kawasan Sentono Boto Putih memiliki sejarah panjang yang dipengaruhi oleh berbagai suku bangsa. Dahulu, kawasan ini menjadi pusat perdagangan di Kalimas, sehingga menarik para saudagar dari berbagai penjuru. Hal ini terlihat dari adanya pemukiman etnis Melayu, Arab, dan Tionghoa. Sunan Boto Putih, atau Pangeran Lanang Dangiran, memainkan peran penting dalam menyebarkan Islam di Surabaya. Beliau mendirikan pemukiman di Pegirian, tepatnya di Dukuh Boto Putih, dan menjadi pusat syiar agama Islam di kawasan tersebut.
Sentono Boto Putih dengan keragaman etnisnya merupakan miniatur Indonesia yang kaya budaya, tradisi, dan nilai-nilai toleransi. Keberadaannya menjadi pengingat bahwa persatuan dan kesatuan bangsa dapat terwujud dengan menghargai perbedaan dan hidup berdampingan dengan damai. Selain itu, keragaman etnis di Sentono Boto Putih juga mencerminkan toleransi dan keharmonisan yang terjalin di antara berbagai kelompok etnis. Walaupun memiliki latar belakang budaya dan tradisi yang berbeda, mereka mampu hidup berdampingan dan saling menghargai. Ini adalah bukti bahwa Surabaya, khususnya Sentono Boto Putih, adalah daerah yang menunjukkan bagaimana keragaman dapat menjadi kekuatan dan bukan menjadi perpecahan.
Arsitektur, Fungsi dan Makna dari Kompleks Pemakaman Boto Putih
Makam Botoputih memiliki arsitektur yang mengusung ornamen – ornamen yang bersifat ke keratonan hal ini dapat terlihat dari berbagai bangunan yang terdapat di makam tersebut. Struktur makam ini terbagi menjadi 4 yang antara lainnya ialah :