Kurang lebih, 1500 umat mengikuti Misa Akbar di gereja St. Thomas Rasul Bedono pada Minggu, 24 November 2013 kemarin. Misa yang dipimpin oleh Rm. P. Hartono, Rm. Koko, Rm. Subiyanta, dan Rm. Slamet, Pr tersebut digelar sebagai puncak perayaan dalam rangkaian novena Lustrum pertama berdirinya Paroki St. Thomas Rasul Bedono. Lima tahun merupakan waktu yang sangat muda untuk berdirinya sebuah paguyuban yang bernaung di wilayah Keuskupan Agung Semarang. Dalam lima tahun itu pasti akan banyak terjadi pergulatan dan tantangan. Bagaimanapun itu, semua hal yang terjadi menjadi sebuah pengalaman dan pembelajaran yang mampu menguatkan jati diri. Paroki kecil dengan tiga wilayah; Sadang, Nawangsari dan Bedono membuktikan dirinya dan lahir sebagai sebuah paroki dengan kesatuan yang rukun. Hal itu terwujud dengan misa paroki yang diadakan secara bergilir dimana umat antar wilayah saling bertemu dan bertegur sapa. Sebagaimana kita tahu bahwa perjumpaan itu menjadi sebuah media pemersatu. “srawung” dan “aruh-aruh” merupakan sebuah tanda dimana setiap individu mempunyai kedekatan dan keterikatan. Kekuatan tersebut semakin menyuburkan kehidupan dan spiritualitas dalam hidup menggereja. Perjumpaan-perjumpaan lainnya juga hadir dengan berbagai macam kegiatan seperti “Kemis Legen” (Misa refleksi pada setiap malam Kamis Legi). Lomba Visualisasi kitab suci anak-anak yang diikuti oleh sanggar dan perwakilan wilayah adalah jalan pembelajaran anak untuk mendalami kitab suci dengan cara yang berbeda. Para kaum muda juga turut bergerak dengan misa hari raya kemerdekaan dan misa alam yang digelar di perkebunan karet. Selain itu, para lansia juga turut berbagi syukur dengan misa dan sarasehan.
Bedono Mandiri, Bedono Membumi, Bedono Lestari.
Semboyan “Bedono, Bedo No!” (Bedono, berbeda ta!) semakin menguatkan kerukunan dan mempertajam semangat perubahan untuk membawa Bedono menjadi gereja yang “berbeda” dan mampu memberi banyak berkat. Gerakan hijau (rumah, gereja, sekolah, asrama dan biara hijau) menjadi salah satu hasil yang dapat dilihat. Di setiap halaman, teras bahkan altar bisa kita jumpai bermacam tanaman sayur dalam polibag. Gerakan ini merupakan wujud keterlibatan umat dalam upaya konservasi alam dan peningkatan ekonomi masyarakat. Gerakan ini akhirnya mampu menjadi virus hijau yang menyebar dan tak hanya diikuti oleh umat katolik semata, namun warga dan masyarakat luas juga turut berupaya menjaga ketahanan pangan. Bedono mampu menunjukkan diri sebagai kampung sayur yang mandiri. Tak hanya tanaman sayur saja, potensi local agriculture seperti kimpul (hingga muncul istilah kimpulisasi), alpukat, manggis, juga diangkat sebagai produk local yang dinilai mampu memperkuat kesejahteraan masyarakat dalam jangka dan skala yang lebih panjang.
Dalam teritori dan social-budayanya, Bedono berada di daerah pinggiran atau bahkan bisa dibilang “ndesa, nggunung, ngalas”. Namun paroki ini seakan tidak pernah berkecil hati, kekuatan perubahan dan kesadaran akan potensi yang begitu banyak menjadi modal yang dapat digali, dikembangkan dan dilestarikan. Selain potensi pangan dan kemandirian secara ekonomi, kearifan local dan budaya juga menjadi perhatian Gereja. Pola sosial yang cenderung mengubah orang menjadi egois dan instant, belum lagi kegamangan hidup dan juga kekerasan yang dapat kita lihat lewat berbagai media menjadi keprihatinan dan refleksi. Kemajuan teknologi, kapitalisme seringkali membutakan mata dan membuat lupa jati diri sebagai manusia, citra Allah yang dianugerahi hati dan rasa.
Bedono berada pada jalur penghubung Yogyakarta dan Semarang, jalur transportasi yang padat. Banyak sekali kejadian dan kecelakaan dan tak sedikit pula korban yang kehilangan nyawanya. Melihat situasi ini Bedono mencoba berbagi dengan mengadakan “slametan dalan” pada setiap tanggal 1 suro. Umat dan juga masyarakat sekitar bergabung, berjalan kaki sambil berdoa disepanjang jalan dengan rute sekitar 28 km. Keunikan dalam kesenian local juga dihidupkan dengan menggelar Festival Reog yang diikuti oleh 7 penampil. Hal ini merupakan kesuksesan besar, dimana gereja yang membudaya rupa-rupanya mampu menghidupkan kerukunan lintas batas. Tanpa ada lagi sekat dan kotak-kotak fanatisme yang menghalangi setiap individu untuk hidup bersama sebagai mahluk yang berbudaya. Budaya “ndesa” yang mempersatukan tersebut tetap hidup lewat buka bersama, tirakatan, latihan gamelan serta kegiatan-kegitan lainnya.
Anak-anak adalah masa depan Gereja, tempat dimana kita akan tinggal esok. Namun saat ini banyak kita jumpai, anak lebih banyak berkutat dengan kecanggihan teknologi, belum lagi ditambah beban materi pelajaran kognitif dari sekolah, sehingga anak-anak tidak mengenal lingkungan sosial dan kebudayaan yang hidup disekitarnya. Melihat keprihatinan tersebut maka dibuat sanggar-sanggar sebagai wadah kreatifitas anak, seni dan kearifan local yang hidup dan membumi di masing-masing daerah. Anak-anak diberi ruang untuk terlibat, untuk mengembangkan diri, bersosialisasi, dan mengasah potensi hidup dengan pilihan-pilihan yang akan mereka ambil secara bertanggung jawab. Mereka adalah masa depan yang mewarisi bumi beserta kearifan-kearifannya agar tetap lestari. Mereka yang akan menanam sayur, mereka yang akan berjoget reog, mereka yang akan membacakan kitab suci, mereka adalah tangan-tangan yang akan terus membagikan berkat. “Bedono bisa dan terus memberi banyak berkat baik untuk gereja untuk masyarakat sekitar bahkan untuk siapa saja, semua.” tutur Rm. P. Hartono, Pr yang sedang berkarya di Paroki St. Thomas Rasul Bedono.