Rintik hujan mulai turun saat Lia dan Dita yang sedang asik berjalan menuju taman, melihat-lihat jalanan sepi yang basah dibawah cahaya bulan.
Dita selalu menjadi sosok yang ceria dan penuh energi. Ia suka bercanda dan tak pernah kehabisan ide untuk menghibur Lia dikala ia sedang bersedih. Sementara itu, Lia adalah seseorang yang lebih tenang, namun memiliki jiwa yang lembut dan peka.
Mereka berdua sedang bercakap-cakap tentang berbagai hal ringan, tertawa bersama saat Dita menceritakan kejadian lucu yang baru saja dialaminya. Persahabatan mereka telah terjalin sejak masa kanak-kanak, sejak keduanya masih bermain hujan sambil berlarian di taman yang akan mereka kunjungi sekarang, dan mereka pun sekarang sudah beranjak dewasa yang dimana harus memikirkan masa depannya masing-masing.
Tak lama kemudian mereka pun sampai di taman dan duduk berdua dibangku yang ada di taman itu. "Lia, aku mendapatkan kabar baik," kata Dita dengan antusias. "Kabar baik apa itu Dita?" tanya Lia. "Aku diterima di universitas impian dikota besar!" Lia tersenyum senang mendengar kabar itu. "Wah, itu luar biasa, Dita! Aku bangga padamu."
Hujan mulai reda. Setelah menyatakan hal itu, Dita tiba-tiba terdiam yang tadinya sangat antusias untuk menyampaikan kabar baik kepada sabahatnya sekarang menjadi berubah begitu saja. Lia melihat sahabatnya itu yang tiba-tiba terdiam dengan tatapan kosongnya. "Ada apa Dita?" Lia bertanya, merasa ada sesuatu yang menggangu sahabatnya. Dita menatap Lia dengan mata sendu. "Besok pagi aku akan berangkat," katanya perlahan, suaranya diiringi gemerisik dedaunan yang tertiup angin.
Lia sontak kaget setelah mendengar apa yang Dita sampaikan tadi. "Kenapa tiba-tiba saja besok Dita?, kenapa kamu tidak cerita lebih dulu ke aku?" tanya Lia sambil menatap Dita dengan nada yang agak tinggi. Melihat Lia begitu, Dita pun kaget dan menjadi bingung karena tidak biasa sahabatnya berbicara dengan nada yang agak tinggi. "Aku minta maaf Lia, mungkin kamu kaget mendengar apa yang aku bicarakan ke kamu tadi," kata Dita dengan merasa bersalah kepada sahabatnya.
"Aku harus pergi dalam waktu dekat. Ini kesempatan besar bagiku untuk mengejar impianku, Lia," ucap Dita sambil menahan air matanya. "Aku paham, tapi bagaimana kalau aku ingin bercerita kepadamu, kalau kamu tidak ada disampingku? Aku pasti akan merindukanmu. Kita sudah seperti saudara," kata Lia sambil meneteskan air matanya.
Dita meraih tangan Lia dan menggenggam erat. "Aku juga akan merindukanmu, Lia. Tapi kita pasti masih bisa saling menghubungi. Teknologi memudahkan kita untuk tetap terhubung meski berjauhan." Lia tersenyum, menghapus air mata yang mulai jatuh dari sudut matanya. "Aku tahu. Tapi rasanya tidak akan sama tanpa kamu disini, Dita," Dita merasakan perasaan yang sama. Kehilangan seorang sahabat yang selalu ada disampingnya, berbagi suka dan duka, tidak akan mudah. "Aku berjanji akan datang kembali untuk berkunjung setiap ada kesempatan," janji Dita.
Keduanya kemudian terdiam, membiarkan momen itu terisi dengan suara angin dan suara dedaunan yang berada di taman. Malam ini menjadi malam yang berbeda dari biasanya, karena esok pagi ia akan meninggalkan kota tempat ia dibesarkan. Perjalanan ke kota baru untuk mengejar impiannya menuntut Dita untuk pergi jauh, meninggalkan rumah dan sahabatnya. Mereka tahu bahwa persahabatan mereka akan tetap kuat meski jarak memisahkan. Namun, perpisahan selalu sulit, terutama dengan seseorang yang begitu berarti.
Malam semakin larut, dan Dita tahu bahwa ia harus kembali ke rumah untuk berkemas. Dengan berat hati, mereka berdiri dan saling berpelukan, tidak ingin melepaskan satu sama lain. "Jaga diri baik-baik, Dita," Lia berbisik, berusaha menahan air matanya. "Kau juga, Lia. Terima kasih atas segalanya," jawab Dita dengan suara yang bergetar.
Akhirnya, mereka saling melambaikan tangan dan pergi ke arah yang berlawanan. Dita berjalan pulang dengan perasaan campur aduk, sementara Lia tetap berdiri di taman, melihat sahabatnya pergi di bawah bulan yang terselimuti awan.