Lihat ke Halaman Asli

Revolusi Tekstil di Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Latar Belakang

Dahulu tekstil merupakan sarana untuk melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan, sesuai dengan kebutuhan dasar manusia terhadap sandang, pangan dan papan. Pada perkembangannya tekstil tidak hanya menjadi alat untuk melindungi tubuh, tapi telah menjadi ciri tradisi yang pada gilirannya berkembang pula teknologi busana. Tradisi dan teknologi busana ini tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan, bahkan sekarang telah dijadikan pilar industri yang dapat menghasilkan devisa negara (Hongu et al. 2005). Cina adalah negara yang telah menjadikan tekstil sebagai indikator perkembangan industrinya. Penelitian dan aplikasi bioteknologi telah diarahkan untuk menunjang kemajuan tersebut seperti penggunaan enzim dan pewarna alami untuk tekstil. Cina merupakan negara pertama yang menggabungkan antara nilai seni tekstil dengan sentuhan bioteknologi (Chen et al. 2006).

 

Maraknya revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi tekstil di pertengahan abad 20, telah memicu industri tekstil untuk menciptakan serat sintetik yang memiliki sifat khusus, misalnya tahan terhadap suhu tinggi dan memiliki daya tahan yang kuat. Serat sintetik yang telah dikembangkan diantaranya adalah nylon, polyesters, dan acrylics (Hearle 2001). Hongu et al. (2005) menambahkan bahwa nylon muncul sebagai superfiber dibandingkan dengan serat yang terbuat dari logam, karena memiliki karakteristik kuat tarik (tensile strength) yang tinggi. Adanya kemudahan dalam rekayasa teknologi serat sintetik telah menjadikannya sebagai potensi yang bisa diterapkan pada industri penerbangan (aerospace), industri transportasi, industri perikanan (jaring, benang pancing), dan industri olahraga.

 

Blackburn (2006) menyatakan adanya keinginan untuk kembali ke alam, telah mengarahkan industri tekstil memanfaatkan kembali berbagai sumber serat alam yang dapat memberikan nilai tambah yang besar. Kemajuan selanjutnya yang penting adalah serat kain dengan bahan dasar alami atau dikenal dengan biofiber (Blackburn 2006 dan Hongu et al. 2005). Serat organik (biofiber) pada dasarnya memiliki kekuatan tarik yang lemah, namun dengan adanya metode gabungan (composite), serat alami bisa bersaing dengan serat sintetik. Departemen Perdagangan Amerika Divisi Patent dan Merek Dagang Amerika Serikat (USPTO) tahun 2005 telah memberikan paten (US Patent) dengan nomor 7.000.000 kepada peneliti senior DuPont, Jhon P. O"Brien atas temuannya "Polysaccharide Fibers" (Anonymous 2006).

 

Hearle (2001) memaparkan bahwa serat alam, seperti kapas, wool, dan sutera serta berbagai serat lainnya, memiliki nilai tambah yang luar biasa dalam aplikasinya sebagai pakaian dan karpet. Sejak 100 tahun yang lalu, serat alam ini telah menjadi komponen utama industri tekstil. Namun konversi polimer selulosa menjadi serat banyak mengalami masalah, misalnya lingkungan. Metode yang dilakukan, seringkali menimbulkan pencemaran air, antara lain masih digunakannya larutan koagulasi yang berbahaya seperti alcolart (alkali) dan copper ammonium, dimana bahan tersebut tidak bisa dipecah oleh mikroorganisme (Tamura et al. 2004).

 

Kecenderungan perkembangan saat ini adalah adanya penggunaan polivinil alkohol sebagai bahan komposit pada pembuatan serat dengan bahan dasar chitosan. Jia et al.(2007) memaparkan bahwa polivinil alkohol adalah material yang tidak toksik, mudah diuraikan secara biologi (biodegradable), dimana sudah diaplikasikan secara luas dalam bidang kesehatan (biomedical). Polivinil alkohol telah menjadi bahan pengkajian dalam pembuatan serat (fiber) atau film. Pada tahun 1938, Universitas Kyoto, telah mengembangkan serat dengan bahan dasar polivinil alkohol yang dikenal dengan "Synthese I". Kemudian pada tahun yang sama, Kanebo Co., Ltd. telah mengembangkan serat buatan dengan bahan dasar polivinil alkohol yang dikenal dengan "Kanebian" (Watanabe 1987). Selain itu Hodgkinson dan Taylor (2000) menjelaskan bahwa polivinil alkohol mempunyai kuat tarik (tensile strength) lebih tinggi dibandingkan dengan polivinil klorida (PVC) sehingga dalam aplikasinya dapat digunakan sebagai bahan gabungan (composite). 

Tantangan terbesar teknologi tekstil berbahan dasar chitosan saat ini adalah terkonsentrasi pada teknik analisis termal yang mengarah kepada pembuatan komposit dengan menggunakan teknologi nano (electrospinning), bahan alam dan bersifat multifungsi (Jaffe et al. 2006). Selain itu tuntutan industri tekstil sekarang adalah pada karakteristik kain seperti kemampuan bahan untuk dipintal (spinability), kemampuan dalam pewarnaan (dye ability), kemampuan selama pencucian (wash ability), anti lapuk, dan anti bau (Asanovic  et al. 2007).

 

Cukup banyaknya sumber bahan baku diatas disertai dengan adanya teknologi dan inovasi dari chitosan sebagai bahan dasar serat kain diharapkan akan menciptakan karakteristik serat kain baru dan yang mampu meningkatkan industri tekstil dan tenun rakyat Indonesia menjadi lebih maju.

 

Melihat karakteristik yang ada pada chitosan, diharapkan serat kain yang dihasilkan mampu memenuhi aspek spinability, kuat, anti lapuk, dan anti bau.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline