Tengah malam ini, setelah pusing dengan bab 5 skripsi saya, dan juga bosan Twiteran maupun melongok Raibuku alias Facebook serta blog saya yang sepi komentar maupun postingan, saya berpikir gimana caranya supaya orang-orang mau mampir untuk sedikit mengapresiasi beberapa tulisan saya yang sudah usang di blog saya itu. Lalu saya teringat akun kompasiana saya yang saya buat beberapa waktu yang lalu. Di web tempat kita kumpul ini saya mulai membuka postingan para kompasianer senior yang tentu saja semuanya lebih senior dari saya karena saya ini benar2 newbie dan masih belum tau seluk beluk komunitas para kompasianer, masih ragu dan malu-malu buat komen atau posting tulisan saya di sini.
Singkat kata saya pun asik membaca beberapa halaman postingan mas-mas dan mbak-mbak kompasianer senior (saya juga belum lama tahu kalau member kompasiana itu disebut kompasianer) sembari belajar, bagaimana caranya menulis supaya banyak yang bersedia mengapresiasi tulisan saya melalui komentar maupun memberi penilaian. Saya pun membaca berlaman-laman web ini sambil lalu. Lalu sampailah saya pada suatu titik di mana saya menyadari kebodohan saya. Tujuan saya adalah supaya orang-orang mengapresiasi tulisan saya, tetapi mengapa saya tidak lebih dulu mengapresiasi tulisan mereka? Mengapa saya tidak meninggalkan komentar walaupun hanya sekadar bilang "Bagus mas/mbak cerpennya"?
Saya jadi berpikir kalau saya ini sama saja dengan pembaca-pembaca blog saya yang cuma sekadar mbaca terus berlalu tanpa jejak. Padahal saya tahu betapa berharganya sebuah apresiasi bagi saya, tetapi saya justru tidak bisa menempatkan diri sebagai penulis yang bisa mengapresiasi tulisan penulis lain. Ternyata saya ini masuk dalam kategori penulis yang egois, maunya diapresiasi tapi enggan untuk mengapresiasi karya dan tulisan orang lain. Bahkan sampai saya menulis ini, saya bukannya kembali ke laman sebelumnya buat memberi apresiasi tapi malah nulis opini yang ecek-ecek dan tidak bermanfaat seperti postingan saya ini. Mungkin orang-orang seperti saya ini terlalu sibuk cari inspirasi sampai-sampai saya lupa buat menikmati karya orang lain. Padahal alih-alih nulis, saya malah buka Twiter, fesbuk, atau malah main game.
Saya jadi membuka-buka blog lawas saya yang sepi itu. Mungkinkah perkamen-perkamen usang itu bakal diapresiasi jika saya sendiri enggan buat mengapresiasi karya orang lain? Saya rasa ini bisa jadi perenungan saya malam ini. Mohon jangan dianggap serius, tulisan ini cuma sekadar uneg-uneg penulis ecek-ecek yang lagi galau. :D . Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H