Lihat ke Halaman Asli

Menguak Yayasan Sukma yang Didirikan dari Dana Korban Tsunami 2004

Diperbarui: 4 Mei 2016   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar progrev.org

Bencana Tsunami 26 Desember 2004 merupakan bencana salah satu bencana terbesar yang memporak-porandakan Aceh. Stasiun MetroTV merupakan stasiun televisi pertama yang mulai menanyangkan dampak dari bencana Tsunami tersebut ke seluruh nusantara dan berhasil menjadi perhatian publik dunia. Selama 40 hari penuh lewat siaran “Breaking News” dan program ”Indonesia Menangis”, stasiun swasta tersebut berhasil menguras air mata pemirsa di luar Aceh. Siaran itu pula yang menggugah pemirsa untuk menyumbangkan harta benda maupun uang mereka. Bahkan tak sedikit pemirsa nekat jadi sukarelawan setelah menontonnya.

 Selang beberapa pekan, 15 negara donor sepakat menyatukan bantuan mereka dalam Dana Multi Donor bagi Aceh dan Nias, sebesar 525 juta dolar AS. Lembaga ini dipimpin secara kolektif oleh perwakilan Uni Eropa (yang merupakan pendonor terbesar), Bank Dunia, dan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Bank Pembangunan Asia tak ketinggalan mengucur dana 300 juta dolar AS. Melalui rekening di Bank Central Asia dan Bank Mandiri dalam tempo kurang dari sepekan sudah terkumpul Rp 40 miliar!. Dalam buku Galang Dana Ala Media yang diterbitkan Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) pada 2003, terbukti bahwa media televisi menempati urutan pertama untuk menggaet simpati pemirsa. Alasannya sederhana, pesan lewat media lebih mampu mengeksplorasi dan mengeksploitasi rasa kemanusiaan publik. Penelusuran PIRAC baru-baru ini mengungkap total penggalangan dana masyarakat lewat media elektronik dan cetak untuk korban tsunami di Aceh dan Nias selama satu bulan pasca bencana.

AWAL Mei 2005, dana program bantuan “Indonesia Menangis” senilai Rp 134,028 miliar yang dikumpulkan dari pemirsa diserahkan kepada Yayasan Sukma. Tapi mestikah dana masyarakat miliaran rupiah itu diserahkan kepada lembaga baru ini? Mengapa dana tersebut tak langsung disalurkan pada lembaga-lembaga bantuan yang sudah berpengalaman dan lebih siap mendistribusikannya?

Alasan resmi Yayasan Sukma tertera pada laporan kegiatan kemanusiaan ”Indonesia Menangis Media Group” yang dimuat Media Indonesia pada 4 Mei 2005: ”agar seluruh pengelolaan dana sumbangan masyarakat melalui Dompet Kemanusiaan Indonesia Menangis dapat berjalan lebih efektif dan dikelola secara lebih profesional untuk jangka panjang.”Namun tak banyak penyumbang yang tahu soal rencana dan penyerahan dana “Indonesia Menangis” ke Yayasan Sukma.

Menurut Hamid Abidin seorang peneliti dan Kepala program Penguatan Kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil di PIRAC, sebelum dana sumbangan itu dialihkan, rencana itu mesti diumumkan kepada donatur atau publik. Hamid mengatakan “Secara etika harus declare (diumumkan) dulu kepada donatur. Secara hukum, donatur bisa menggugat, karena itu dana publik. Di kita (Indonesia) unik. Ada kesan begitu dana terkumpul bisa diapakan saja, terserah pengumpul dana. Padahal itu kan dana publik,” ujar Hamid. Kini Hamid dan tim PIRAC tengah menyusun laporan soal penggalangan dana lewat media untuk tsunami di Aceh dan Nias.

Yayasan Sukma, dalam laporan keuangannya, mengklasifikasikan uang miliaran itu sebagai bagian kontribusi yang tidak dibatasi dalam laporan aktivitas dan perubahan aktiva bersih. Yayasan ini juga sudah merekrut 38 karyawan kontrak untuk melancarkan program-program mereka, termasuk lagi-lagi… melakukan penggalangan dana.

Yayasan Sukma menggandeng Institute for Society Empowerment (INSEP) sebagai konsultan. Lembaga yang berkantor di Ciputat, Tangerang, ini diketuai Ahmad Baedowi. Pria ini dari kalangan dalam. Dia adalah Ketua Tim Pelaksana Pendidikan di Yayasan Sukma. INSEP dikontrak untuk membuat cetak biru seluruh kompleks sekolah. Mereka juga diamanatkan untuk menerapkan, mengembangkan, dan memelihara sistem pendidikan Sekolah Unggulan Kemanusiaan atau disingkat SUKMA.

Bagaimana dengan laporan pengelolaan anggaran miliaran rupiah yang jadi amanat pemirsa “Indonesia Menangis”? “Itu ‘kan dana publik, dan filantropi ini ‘kan bisnis kepercayaan. Yayasan harus mengumumkan laporan keuangannya ke publik,” ujar Hamid Abidin.

Layaknya organisasi nirlaba lainnya, yayasan memperoleh sumber dana dari sumbangan. Para penyumbang perlu mengetahui kerja organisasi itu lewat laporan keuangan. Publik ingin tahu sumbangan mereka digunakan untuk apa saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline