Lihat ke Halaman Asli

Masih Perlukah Pemain Naturalisasi?

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14171378621324255375

Untuk  menghadapi  Piala Dunia 1934, Italia menaturalisasi beberapa pemain hebat  berdarah  Amerika Selatan untuk dimasukkan ke dalam skuad timnas Italia. Nama  Orsi, Monti, Demaria dan Guaita bermain untuk "Azzurri" dan Italia berhasil  meraih  gelar juara dunia melawan Cekoslowakia.

Jerman  menaturalisasi pemain untuk mengisi kekosongan penyerang mereka setelah Klinsmann, Bierhoff dan Kirsten pensiun. Ada nama  Bobic (Slovenia),  Rink (Brazil), Asamoah (Ghana), Klose dan Podolski (keduanya dari Polandia).

Dengan memanfaatkan kedatangan sejumlah besar imigran dari bekas negara Yugoslavia, Swedia menaturalisasi  sejumlah pemain Eropa Timur dan  yang paling menonjol adalah Zlatan Ibrahimovic.

Siapa pun bisa membayangkan "Les Bleus" tidak akan  sukses tanpa bantuan pemain Afrika seperti Zidane (Algeria), Vieira (Senegal) atau Desailly (Ghana) serta pemain  Amerika seperti Thuram dan Henry (Guadalupe).

Amerika Serikat merupakan contoh negara yang paling banyak melakukan naturalisasi pemain. Tetapi hal ini bisa dimaklumi karena sepak bola bukan olahraga yang populer di negara itu. Penduduk mereka juga kebanyakan berasal dari imigran. Mereka membutuhkan pemain naturalisasi untuk menaikkan “pamor” negara itu di percaturan sepak bola dunia.

Yang paling baru tentunya saat Spanyol begitu ngotot untuk menaturalisasi pemain asal Brazil Diego Costa. Tidak butuh waktu lama bagi  Federasi Sepak Bola Spanyol untuk mendapat persetujuan permohonan naturalisasi ini. Costa dibutuhkan agar Spanyol tetap dominan di persepakbolaan internasional.

Saya tidak begitu kaget ketika timnas kita dikalahkan Filipina 0-4 di Piala AFF 2014 kemaren, karena nyaris semua pemain mereka berasal dari pemain hasil naturalsisai. Jangan bicara masalah statistik masa lalu, karena  saat itu mereka masih bermain dengan “bangsa” sendiri sehingga data itu menjadi tidak relevan.

Bagi yang tidak setuju naturalisasi pemain, mari kita ber-argumen. Jika anda bersikukuh  bahwa tim nasional sepak bola harus terdiri seluruhnya dari pemain kelahiran negeri sendiri, itu baru adil, maka argumen ini menjadi  tidak realistis, karena negara lain yang akhirnya memanfaatkannya.

Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara yang terkenal etno-sentris seperti Polandia, Yunani dan Republik Ceko telah menaturalisasi beberapa pemain asing setelah bermain dalam jumlah waktu tertentu di liga domestik masing-masing  sebagai syarat berlakunya aturan  naturalisasi

Naturalisasi pemain adalah budaya yang diterima dunia saat ini. Ide budaya dominan menjadi  kunci di sini. Dalam hal ini, budaya yang dominan adalah budaya FIFA, yang menetapkan aturan dan peraturan untuk sepak bola internasional.

“Setiap pemain yang merupakan warga negara naturalisasi dari negara dalam kebijakan  hukum negara itu akan memenuhi syarat untuk bermain untuk tim nasional atau perwakilan dari negara itu,” demikian bunyi peraturan FIFA.

Dengan regulasi  ini, negara mana pun bisa memberikan kewarganegaraan kepada seorang pemain atau dengan syarat lainnya, pemain tersebut harus bermain setidaknya lima tahun di klub sepak bola di negara bersangkutan baru diizinkan  bermain mewakili negara yang menaturalisasinya.

Proses naturalisasi tidak benar-benar sesuatu yang baru tetapi menjadi menarik untuk dibicarakan saat ini. Filipina hanya memanfaatkan peraturan dengan merekrut pemain yang ada hubungan darah dengan warga Filipina melalui kakek-nenek, bibi, paman dan apa pun itu, yang penting tidak melanggar peraturan FIFA.

Pelatih tim nasional Filipina, Thomas Dooley, meminta para pemain naturalisasi yang dibawanya ke Piala AFF 2014 tak dipermasalahkan. "Dari mana pun asal ayah dan ibu mereka, kini mereka adalah warga negara Filipina," kata Dooley seperti dikutip dariAntara, Senin, 24 November 2014.

Kehadiran para pemain naturalisasi ini cukup mendongkrak performa Filipina. Mereka, misalnya, kini menempati peringkat ke-129 di FIFA. Jauh di atas Indonesia yang hanya  di peringkat ke-157.

Sementara Indonesia melakukan naturalisasi pemain dengan setengah hati. Pemain yang sudah lewat masa keemasannya seperti Christian Gonzales, Van Dijk masih dinaturalisasi. Pemain dengan kualitas pas-pasan seperti Kim Jeffrey  Kurniawan, Irfan Bachdim, Diego Michiels, Ruben Wuarbanaran dinaturalisasi.

Stefano Lilipaly sangat sulit dipanggil untuk bergabung dengan timnas, jadi apa gunanya masuk warga negara Indonesia?Raphael Maitimo lebih sering melakukan pelanggaran daripada membantu pemain belakang timnas untuk  lepas dari tekanan lawan.

Saya pribadi setuju dengan pemain naturalisasi tetapi jangan semuanya menjadi penghuni tim inti. Kasihan pemain lokal yang punya talenta-talenta  istimewa akan  tersingkir dan  hanya jadi  penghuni bangku cadangan.

Kalau tidak setuju dengan naturalisasi apa yang harus dilakukan? Timnas U-19 memang  sukses menjuarai AFF Cup 2013 tanpa pemain naturalisasi. Tetapi ketika menapak ke tingkat yang lebih tinggi Piala Asia U-19, mereka tidak mampu menghadapi lawan yang mempunyai postur tubuh besar dan tinggi seperti pemain Uzbekistan, UEA dan Australia.

Kita harus bisa menerima kenyataan, postur tubuh rata-rata pemain Indonesia sangat kecil seperti Andik Vermansyah dan Taufik. Sangat sulit untuk bersaing dengan pemain Eropa yang bertubuh besar atau katakanlah dengan pemain dari negara  yang sering  kita hadapi, yakni  Timur Tengah.

Masih ada sebenarnya cara lain yang belum pernah dilakukan. Pengembangan sepak bola di Papua belum pernah dipikirkan  secara serius. Banyak bakat muda yang dikaruniai skill dan stamina istimewa muncul di sana. Di tingkat tarkamnya saja banyak talenta muda yang brilian.

Sayangnya, belum banyak kesempatan yang mereka punyai, sebab masih belum banyak pemandu bakat yang tertarik melihat ke sana. Hanya dari daerah ini kita bisa berharap banyak. Mereka dikaruniai postur tubuh besar dan fisik istimewa yang tidak kalah dari negara mana pun.

Mungkin sudah waktunya PSSI bekerja sama dengan pemerintah menunjuk tanah Papua sebagai pusat pengembangan sepak bola di  Indonesia. Mendirikan pusat pembinaan sepak bola usia dini, mendirikan sekolah sepak bola, dan menggulirkan kompetisi yang teratur dan berjenjang  dari U-15, U-17, U-19, U-21, dan U-23. Menyediakan pelatih berkualitas dan seterusnya dan seterusnya.

Setelah semua program ini berjalan lancar, dengan ditambah beberapa pemain naturalisasi berkualitas, Indonesia boleh bermimpi melangkah menuju pentas dunia, tidak lagi megap-megap di Asia Tenggara. Mengatakan memang mudah, melaksanakannya yang sulit. Ah… sepak bola, kalau sudah begini menulis catur jauh lebih enak.



Putih jalan duluan,  Hitam mati dalam 2 langkah.

1417137957964747713



Kalau susah, bisa ditanyakan kepada Mbah Mupeang.



Foto: m.sooperboy.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline