Lihat ke Halaman Asli

Perjalanan Haji Ala Mahasiswa, Bukti Kekuasaan Allah

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap musim haji tiba, merinding menyaksikan liputan tentang ibadah haji dari televisi.Ada kerinduan untuk kembali dan rasa haru mengingat perjuangan menuju tanah suci. Jauh di lubuk hati yang paling dalam aku bersyukur sudah berhaji saat usia muda dan tenaga masih kuat Allhamdulillah.

Saat itu aku masih menetap di Maroko dalam rangka mendampingi suami menuntut ilmu. Setelah hampir dua tahun disana, suami kembali mendapat kesempatanuntuk menjadi petugas haji musiman yang lazim di singkat temus.Terpikir olehnya untuk mengajak aku dan anak pertama kami yang masih berusia delapan belas bulan untuk ikut menunaikan ibadah haji bersama. Keinginannya kusambut baik, meskipun saat itu kamiyakin perjuangan untuk mewujudkannya akan sangat sulit.

Larangan untuk tidak membawa serta keluarga dalam tugas sebagai temus yang disampaikan Bapak Dubes RI di Rabat saat itu memang sempat menciutkan nyali kami melanjutkan rencana ini.Sungguh kami dapat memaklumi aturan itu, karena ini memang perintah dari pusat.Dengan alasan, agar tidak terpecah konsentrasi suami saat menjalankan tugasnya selama di Arab Saudi melayani para tamu Allah.

Namun saat langkah pertama mengalami kendala, kami mencoba untuk menjalankan alternatif kedua dan yang sangat menentukan. Yaitu berusaha mengajukan visa bersama-sama dengan teman mahasiswa Indonesia petugas haji juga.Meskipun harapan bagi aku dan Fathi anak kami untuk ikut sangat tipis, namun keyakinan akan campur tangan Allah sangat besar membuat kami berusaha membangun harapan baru melalui do’a dan ikhtiar.

Memang kalau Allah sudah berkehendak, tidak ada satu pun yang mampu menghalanginya. Alhamdulillah hari itu jugapermohonan visa kamisemuanya di kabulkan kedutaan Saudi di Rabat tanpa kendala yang berarti. Labbaikkallahumma labbaik!!!

Visa sudah di tangan, muncul permasalahan selanjutnya, “’darimana uang untuk membeli tiket ke Saudi?”.Jika naik haji di Indonesia yang pertama di persiapkan adalah dana, maka kami yang pertama di persiapkan justru “nyali”.Setelah mengumpulkan sen per sen, dirham per dirham yang dan mengandalkan sisa uang beasiswa dari kerajaan Maroko yang di peroleh suami selama studi disana, akhirnya cukup juga biaya untuk membeli tiket kami bertiga Casablanca-Jeddah.Tiket baru kamu beli satu hari sebelum keberangkatan, sudah seperti membeli tiket bus Banda aceh-Medan, sungguh pengalaman yang tak terlupakan.

Setelah menempuh perjalanan selama enam jam dengan menumpangi pesawat Air Maroc, akhirnya kami mendarat dengan selamat di bandara internasional King Abdul Aziz Jeddah. Karena suami menjadi petugas haji, maka kami harus berangkat jauh lebih awal sebelum jamaah haji indonesia tiba.Hal ini yang menyebabkan kami masuk melalui bandara internasional, bukan melalui bandara khusus jamaah haji, karena musim haji belum tiba.

Perjuangan belum berakhir. Setelah turun dari pesawat dan mengambil barang bawaan, kami masih harus berhadapan dengan petugas imigrasi Saudi yang terkenal sangat ketat aturan.Setelah kurang lebih lima jam di interograsi, akhirnya kami di izinkan keluar dari bandara.Tanpa pikir panjang suami langsung mengajak keluar secepatnya dan mencari angkutan.“Kita harus cepat keluar, sebelum mereka berubah pikiran”, demikian penjelasan singkatnya menanggapi pertanyaanku tentang apa saja yang ditanyakan di dalam tadi.

Didalam taksi ia baru menjelaskan bahwa awalnya tadi aku dan Fathi tidak diizinkan keluar dari Mekkah, dan tetap tinggal di Jeddah selama suami menjadi petugas haji.Setelah menjelaskan semua kondisi, termasuk membawa anak, dan proses tanya jawab yang panjang, akhirnya kami diizinkan keluar bandara dan boleh keluar kota Jeddah dengan catatan pasporku disimpan oleh mereka, sementara aku hanya memegang kopiannya saja.Nanti saat akan meninggalkan Saudi paspor akan di antar ke bandara oleh petugas imigrasi.

“Huff....aku menarik nafas panjang, Alhamdulillah. Sampai di dalam taksi kami belum punya tujuan pasti akan menetap di mana selama di Saudi.Dengan bermodalkan alamat teman sesama mahasiswa Indonesia di Maroko yang orangtuanya menetap di Jeddah, kami pun bermaksud singgah disana terlebih dahulu sebelum mendapatkan tempat tinggal selama tiga bulan kedepan.Sebagai petugas haji tentu sudah pasti suami akan menetap di base camp khusus petugas haji Indonesia.Tapi bagaimana dengan aku dan Fathi?.

Sejak berniat menunaikan ibadah haji ini satu persatu misteri terungkap, pertolongan Allah terus saja datang melalui tangan-tangan hambanya.Tiba di rumah orangtua Ola, kami disambut baik oleh orangtuanya.Tak hanya itu, Bapak yang bekerja di rumahnya pun turut membantu kami selama menginap disana.

Keesokan harinya kami berangkat ke Mekkah.Subhanallah, menyaksikan Ka’bah di depan mata membuat aku terpaku dan tak ingin beranjak pergi, meskipun ibadah Umrah kami sudah seelsai.Kondisi jamaah yang belum lagi ramai memberi kami kesempatan untuk mencium Hajar Aswad, begitu juga dengan Fathi, Alhamdulillah.Usai Umrah, kami bersilaturrahmi kerumah Aceh di daerah Raudhah.Di sana kami menjumpai teman suami yang sudah menetap di Mekkah selama kurang lebih dua belas tahun.Alhamdulillah kami di tawari tinggal disana, di lantai empat apartemen tersebut, yang katanya memang di peruntukkan bagi tamu asal Aceh.Rumah Aceh ini merupakan rumah hasil wakaf para dermawan Aceh.Masya Allah kemudahan ini tidak pernah terbayangkan oleh kami sebelumnya.Segera kami kembali ke Jeddah untuk mengangkut barang dan pindah ke Mekkah.

Di setiap kesusahan tentu akan ada kemudahan.Meskipun saat itu suami ditugaskan di Madinah dan aku tetap di Mekkah, namun banyak sekali orang yang membantu aku untuk dapat menunaikan shalat di Masjidil Haram, menemani membeli kebutuhan sehari-hari, menemani menuju Arafah, Mina dan membantu merawat Fathi sesekali.Subhanallah, meskipun saat di Arafah Fathi sedang sakit cacar, namun dia tidak rewel sama sekali dan “saudara” satu apartemen rumah Aceh selalu ikhlas membantu. Nyak dan kak Etik sekeluarga, mereka adalah orang-orang yang sangat berjasa selama penulis tinggal di Mekkah.

Aku merasa sangat lemah pasca wukuf di Arafah, tawaf ifadah, mabit di Mina.Harus mendorong stroller Fathi sepanjang Raudhah-Mina pulang pergi, sesekali harus menggendongnya saat ramainya jamaah di Mina.Aku terus berusaha sekuat mungkin untuk tidak merepotkan suami yang sedang bertugas.Karena kami harus membuktikan bahwa tugas suami tidak akan terganggu dengan membawa kami ikut serta menunaikan ibadah haji. Aku tidak menyadari bahwa saat itu sudah hamil enam minggu. Hingga akhirnya kelelahan itu berujung pada pendarahan.Astagfirullah...aku takut sekali saat itu, takut kehilangan janin yang sedang kukandung, takut menghadapi reaksi Fathi yang tiba-tiba harus di sapih ASI.

Namun Allah masih memberi aku dan janinku kekuatan untuk bertahan.“Saudara” seapartemen terus saja membantu aku dan Fathi, terlebih setelah mengetahui aku sedang hamil.Allah masih memberi aku kekuatan hingga tawaf Wada’.Meskipun sedikit lelah dan harus berjalan dengan sangat pelan, tapi perjuangan sebelum tiba pada akhir ibadah haji ini memberi aku semangat.Subhanallah semua orang yang membantu kami sejak awal keberangkatan sampai pulang ke Indonesia adalah orang yang sama sekali bukan saudara, bahkan lebih banyak yang belum aku kenal sebelumnya.

Di penghujung kepulangan kami masih ada saja episode “sport jantung”.Saat itu kami sudah tiba di bandara di antar oleh supir keluarga Ibu Neneng dan orangtua Ola sekeluarga.Jadwal take off peswat sudah hampir tiba, namun kami belum juga cek in karena pasporku belum ditangan.Petugas yang mengantarkannya terjebak macet di jalan karena ada iring-iringan keluarga kerajaan.Bagaimana bisa pulang jika paspor tidak di tangan?.Alhamdulillah, akhirnya tiba juga petugas yang membawa pasporku, kami buru-buru cek ini.Dan hikmah di balik keterlambatannya mengantar pasporku adalah barang kami sudah tidak dipermasalahkan lagi over weight atau tidak karena waktu cek in sudah hampir habis.Padahal kami yakin barang-barang itu pasti kelebihan berat dari batas yang ditentukan. Aku yang sedang hamil muda, harus mendorong beberapa barang dan berjalan lebih cepat mengejar waktu yang tinggal sedikit lagi.Setelah kami selesai cek ini, counter cek in langsung ditutup. Pemeriksaan imigrasi yang sangat panjang membuat kami sampai di jemput oleh petugas penerbangan karena pesawat sudah hampir berangkat, hanya tinggal menunggu kami naik.Sesaat setelah duduk di kursi pesawat, pesawat langsung bergerak untuk segera take off, Alhamdulillah.“Sekarang tinggal berdo’a agar janin yang kukandung selamat sampai tiba waktu melahirkan nanti”, batinnku saat itu.

Serangkaian perjalanan ibadah hajiku memberiku begitu banyak pelajaran berharga.Bahwa Ibadah haji itu memang bagi yang mampu.Namun bukan semata mampu secara materi. Awalnya adalah mampu secara kesehatan, jika sehat maka kita Insya Allah kuat untuk mencari rizki, kemudian mencari ilmu tuntunan ibadah haji.Jika Allah sudah memanggil, maka akan selalu ada jalan untuk menyambut panggilannya.Melalui tulisan ini juga penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga pada semua orang yang telah membantu kami mulai dari keberangkatan, selama di Jeddah, Mekkah dan Madinah, hingga kembali ke tanah air. Hanya Allah sajalah yang mampu membalas kebaikan saudara semua.Semoga kami dapat kembali untuk ibadah Umrah dan bersilaturrahmi dengan orang-orang yang sudah menjadi saudara selama tiga bulan di Saudi Arabia, Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline