Pendidikan dan Sekolah, dua hal yang saling berkaitan dan tidak akan pernah selesai untuk dibahas mungkin ila yaumil qiyamah atau bahasa lebaynya sampai hari akhir nanti. Tentunya asumsi tersebut sangat mendasar ditinjau dari setiap perubahan yang ada manusia tidak akan pernah statis dan akan selalu dinamis secara pemikiran maupun tindakan nya, yang pada akhirnya nanti selalu ada perubahan yang signifikan menyesuaikan dengan kondisi zaman nya. Sumber daya yang paling berharga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Sumber daya manusia. Hal tersebut sangatlah wajar karena manusia sudah dibekali tuhan dengan akal dan fikiran mereka yang dapat digunakan dalam menghadapi realitas kehidupan. SDM yang bagus dihasilkan melalui perlakuan pendidikan dan lembaga yang bisa mencukupi kebutuhan nalar dan sifat progressif manusia. Sekolah menjadi salah satu lembaga yang “katanya” dapat mencukupi kebutuhan manusia tersebut.
Pemilihan sekolah bukan tak beralasan, melihat fenomena yang terjadi bahwa sekolah adalah perpanjangan tangan dari pendidikan yang dulu pernah dilaksanakan para orang tua. Tugas untuk melaksanakan pendidikan inipun kemudian beralih dari orang tua kepada sekolah. sekolah kemudian dipercaya orang tua untuk melaksanakan pendidikan bagi anak-anak mereka. Sekolah, menurut beberapa orang tua dan bahkan dipercaya sebagai proses yang harus dijalani mereka agar mereka menjadi manusia yang pintar dan berpengetahuan luas. Sekolah menurut illich, merupan inisiasi rutual yang akan sangat menentukan masa depan anak-anak. Harapan dan ekpektasi yang tinggi dari orang tua terhadap sekolah bisa dijadikan sebagai acuan dalam melaksanakan pendidikan dan bisa juga menjadi beban yang sangat berat bagi sekolah apabila pelaksanaan pembelajaran disekolah tidak berjalan secara profesional dan self awareness di setiap pendidik yang memeberikan pengetahuan disekolah.
Namun,bahasan kali ini tidak membahas secara detail tentang urgensi dari sekolah tersebut, melainkan tentang komponen sekolah yang menjadi bagian penting dalam proses pengembangan minat dan bakat peserta didik dalam sekolah. ekspektasi atau harapan yang tinggi dari orang tua terhadap sekolah terkadang membuat sekolah merasa bingung dan kelabakan dalam pelaksanaan pembinaan peserta didik. Pasalnya, selama ini pendidik merasa kesulitan dalam memahami watak dan perilaku peserta didik yang ada disekolah. Dan kenapa hal tersebut dirasa sangat rumit dan tak kunjung ditemukan tali simpulnya? Padahal apabila kita bisa cermati setiap guru mempunyai kompetensi dalam membentuk perilaku peserta didik yang ada disekolah melalui mata pelajaran yang para guru ampu. Sayangnya, hal tersebut tidak di sadari oleh para guru yang hanya berpatokan, yang penting saya ngajar, 24 jam per minggu, dapat sertifikasi, pulang sudah. Pemikiran seperti ini yang harus di dekonstruksi bahwasannya selain hak untuk mendapat kan kelayakan guru juga punya kewajiban untuk mengantar kan masa depan peserta didiknya ke arah yang lebih cerah. Ibaratnya “menghilangkan kabut untuk bisa melihat cerahnya langit”. Dan asumsi bahwa yang membenahi sikap dan membentuk karakter adalah hanya guru Bimbingan Konseling, padahal semua guru harusnya bisa menjadi seorang pembimbing dan konselor bagi peserta didiknya.
Realitas dilapangan mengatakan hal yang berbeda. Permasalahan yang dihadapi peserta didik dalam setiap harinya jelas akan sangat berbeda dan selalu berubah. Hal tersebut bisa di lihat dari dinamisnya zaman dan pemikiran manusia yang setiap harinya akan terus berkembang. Dan seharusnya sebagai seorang pendidik harusnya bisa menyesuaikan kondisi tersebut dengan kemampuan yang kita miliki.
Merubah Asumsi
Berbicara masalah, bakat, karakter, minat dan kompetensi siswa pasti nya bersinggungan dengan yang namanya bimbingan konseling. Sejatinya, semua guru bisa menjadi seorang konselor untuk peserta didiknya. Dan pastinya harus dibekali dengan keilmuan yang sesuai dengan kompetensi seorang guru bimbingan dan konseling. Asumsi yang saat ini keliru dan merebah pada hampir disetiap guru BK, mereka beranggapan bahwa peserta didik yang bermasalah adalah seorang pasien, yang manut akan resep dokter (guru BK) yang pasif, yang sakit dan juaga tak ada timbal balik. Dalam istilah konseling mereka peserta didik yang bermasalah dan mempunyai kemampuan diatas normal adalah seorang klien yang mempunyai sifat dinamis dan aktif dalam setiap konseling nya. Dalam artian bahwa setiap peserta didik diajak untuk bisa membuat keputusan sendiri dan tanggung jawab dengan keputusan tersbeut melalui bimbingan dari seorang guru BK. Dalam menunjang kondisi tersebut setidaknya ada hubungan yang kolaboratif antara guru dan peserta didik dan partnership dalam menyelesaikan masalah yang ada. Artinya peserta didik diajak untuk membincang permasalahan nya sekarang untuk dipersiapkan di masa depan nya. Karena yang di “sasar” oleh BK adalah perubahan tindakan setelah dilaksanakan nya proses konseling dan berjangka panjang. Karena hasil dari konseling tersebut tidak bisa dilihat secara langsung.
Perubahan asumsi dari yang awalnya menganggap peserta didik tersebut adalah seorang pasien, yang berarti dokter memberikan resep dan pasien nya manut begitu saja,bimbingan dan konseling yang sifatnya here only not for their future , dan tidak adanya sifat kolaboratif antara klien dan konselor. Setidak nya sedikit demi sedikit mulai diubah untuk mencapai tujuan dari bimbingan dan konseling itu sendiri.
Membenahi Kompetensi
Perubahanasumsi tersebut tak akan jalan manakala kompetensi atau kemampuan seorang guru bimbingan dan konseling yang ditugaskan untuk menjadi partner peserta didik tak dibenahi atau ditingkatkan. Kompetensi sangatlah menentukan keberhasilan seorang guru dalam melaksanakan bimbingan dan konseling karena hal ini berkaitan langsung dengan karakter peserta didik ayng berbeda beda. Setidaknya dibawah ini adalah beberapa kompetensi yang harus dikuasi oleh seorang guru bimbingan dan konseling.
a.Penguasaan wawasan dan landasan pendidikan (bimbingan konseling)
b.Pengusasaan konsep dalam melakukan bimbingan dan konseling
c.Penguasaan asesment terhadap perilaku siswa
d.Penguasaan mengembangkan setiap kegiatan bimbingan dan konseling
e.Kemampuan berbagi layanan melalui bimbingan dan konseling
f.Kemampuan mengembangan kelompok (belajar) kecil pada siswa
g.Kemampuan untuk menjaga etika
h.Pemahaman terhadap agama, budaya dan kebutuhan khusus.
Delapan kompetensi tersebut setidaknya harus dimiliki oleh seorang guru bimbingan dan konseling guna menunjang proses membimbing dan konseling yang ada di sekolah. tak ayal apabila perubahan asumsi yang selama ini dianggap tak sesuai dengan kondisi real dan pemenuhan kompetensi yang ada pada diri seorang guru bimbingan dan konseling akan memunculkan satu ke khasan baru yang selama ini dirindukan dalam dunia konseling. Yaitu terciptanya sekolah yang kondusif, humanis, dan nyaman bagi peserta didiknya dalam upaya untuk menggapai masa depan yang sudah mereka impikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H