Lihat ke Halaman Asli

Kebenaran (Abu-abu) Dalam Pernyataan Rocky Gerung

Diperbarui: 16 April 2018   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Publik News

Banyak orang sontak bereaksi keras ketika Rocky Gerung melontarkan pernyataan yang berbunyi "Kitab Suci itu adalah
fiksi!" Namun uniknya, meski banyak yang mngecam, namun tidak sedikit juga yang mengamini statement kontroversial
tersebut bahwa Kitab Suci dan fiksi itu sama.

Untuk mengelaborasi pernyataan Rocky ini, mungkin bisa kita coba dengan melakukan sebuah analogi yang kira-kira
esensinya seperti demikian. Ada dua buah buku, yang satu disebut kamus, sedangkan yang satu lagi disebut komik. Tiba-tiba
ada seorang - yang sebut saja bernama Roxy - berteriak, "Jangan bodoh kalian semua! Itu bukan kamus dan komik, tapi cuma
kertas!"

Apakah pernyataan Roxy ini bisa dikatakan salah? Jawabannya tentu tidak, karena nyatanya dua buah buku tersebut memang
disusun di atas materi yang bernama kertas. Namun kalau memang betul, kenapa terasa ada yang janggal dengan kesimpulan di
atas? Tentu saja terasa janggal, karena penafsiran itulah yang dinamakan dengan metode berpikir induktif. Metode yang mengeliminir
nilai-nilai distinctive dari kedua buku tersebut dan meletakkan nilai-nilainya pada yang hal yang paling mendasar, yaitu
kertas.

Pada kenyataannya, meskipun sama-sama disusun dari kertas menjadi buku, kontennya yang menyajikan padanan kata dari
bahasa asing ke bahasa ibu, atau sebaliknya, sifat-sifat distinctive inilah yang membuat sebuah buku disebut dengan
kamus. Sedangkan satu lagi yang penuh gambar-gambar cerita menarik disebut dengan komik. Keduanya bukan lagi hanya
memiliki nilai sebatas kertas belaka.

Demikian pula dengan pernyataan Rocky yang menyebutkan bahwa Kitab Suci dan fiksi itu sama. Memang keduanya bisa
sama-sama mengandung konten seperti imajinasi dan fakta. Tapi Kitab Suci memiliki nilai-nilai distinctive seperti kebenaran-
kebenaran empiris, wahyu dan standar moralitas yang menghantarkan manusia pada pengharapan akhir atau "telos".                                                   Sebaliknya, walau pun fiksi juga bisa mengandung fakta dan imajinasi namun tidak memiliki nilai-nilai tersebut di atas yang dapat dapat menghantarkan kita pada "telos".

Terus terang saya agak prihatin dengan metode berpikir dari "Profesor" Rocky Gerung ini. Belum lama ini saya juga sempat
membaca sebuah berita tentang cuitannya di Twitter yang berbunyi, "Hakekat pemilu adalah untuk memberhentikan presiden.
Supaya terjadi rotasi kekuasaan. *nunggu-komen-dungu." Namun tidak lama kemudian dibalas oleh seseorang yang lebih muda
bernama Gusti Patria, "Komen dungu dari saya: komen ini sepertinya setengah benar. Karena hakekat pemilu (pilpres) adalah
memberhentikan atau melanjutkan kekuasaan presiden. Salam dungu bung @rockygerung."

Apa pun motif dibalik pernyataan-pernyataan kontroversial Rocky Gerung yang tipikalnya condong menuntun untuk berpikir
induktif dan parsial, pada kenyataannya memang tetap membuat kita prihatin dan ironi karena faktanya dia memang memiliki
gelar terhormat sebagai dosen UI!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline