Kekerasan verbal pada anak tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Mengingat, setiap anak memiliki hak tumbuh, berkembang dan dilindungi. Beberapa bentuk kekerasan verbal yang sering terjadi pada anak diantaranya: mengancam, memberikan cap buruk (labeling), memaksa, menakuti, dan membandingkan anak.
Seperti diketahui, jika anak mengalami kekerasan verbal secara terus menerus, maka akan menyebabkan terhambatnya perkembangan anak. Oleh karenanya, setiap orang memiliki tanggung jawab agar anak-anak terbebas dari segala bentuk kekerasan.
Saat ini masih ada anggapan tidak disebut sebagai kekerasan jika bentuknya psikis. Namun tahukah anda bahwa kekerasan sifatnya bermacam-macam, yaitu: kekerasan fisik, psikis, ekonomi, kekerasan seksual dan kekerasan sosial. Dalam istilah lain lebih populer dimaknai sebagai kekerasan berbasis gender, yakni kekerasan yang ditujukan pada seseorang berdasarkan jenis kelamin biologis dan identitas gendernya.
Seperti diketahui, jika orang dewasa (baca:orang tua) memarahi anak acap kali beralasan sedang "mendidik". Namun, tanpa disadari sudah menjadi pelaku kekerasan. Masalahnya, jika kekerasan ini dibiarkan, penulis khawatir pelaku cenderung merasa "ketagihan" mengulanginya. Akhirnya menjadi kebiasaan. Dampaknya, korban akan akan mengalami luka batin dan dapat mempengaruhi perilakunya, tingkat kepercayaan dan harga dirinya.
Tidak sedikit anak-anak korban kekerasan verbal yang tidak percaya diri (untuk tidak menyebut gagal) untuk mengambil kesempatan yang datang dalam hidupnya. Mereka menganggap dirinya tidak berharga dan merasa tidak pantas mendapatkan kesempatan tersebut.
Menurut data kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2021 menyebutkan bahwa 62% atau setara dengan 39 juta anak di Indonesia mengalami kekerasan verbal dari orang tua selama pandemi. Demikian juga data yang dilaporkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan meningkatnya jumlah kasus kekerasan verbal pada anak yang semula berjumlah berjumlah 32 kasus pada tahun 2019 bertambah menjadi 119 kasus pada tahun 2020.
Hasil survei oleh Wahana Visi Indonesia tahun 2020, menunjukkan bahwa 61,5% anak merasa mengalami kekerasan verbal. Atau setara dengan 49,2 juta jiwa anak yang mengalami kekerasan verbal.
Menurut laman Instagram chaisplay, kekerasan verbal pada anak akan berdampak buruk. Pertama, rasa takut. Jika anak sering ditakuti oleh orang disekitarnya dirinya memiliki kecenderungan memiliki rasa takut berlebihan. Penulis pernah mendengar ungkapan yang berbunyi; "jika anak takut jangan dipaksa untuk berani, sebaliknya jika anak pemberani jangan memaksanya supaya takut". Artinya, segala bentuk tindakan memaksa anak agar sesuai dengan keinginan seseorang juga termasuk kekerasan verbal.
Kedua, Anak tidak percaya diri. Setiap orangtua pasti menginginkan kebahagiaan jika anak memiliki kepercayaan diri. Namun, jika anak mengalami kekerasan verbal justru menyebabkan anak menjadi rendah diri, merasa minder dengan teman sebayanya atau bahkan cenderung menutup diri.
Ketiga, bersikap agresif. Menurut Glynis (1998), menyatakan bahwa terdapat beberapa ciri anak yang memiliki perilaku agresif, antara lain cenderung menampilkan sikap yang menyerang, suka bertengkar, mengejek, mengolok, mempermalukan orang lain, atau menuntut agar keinginannya segera dipenuhi.
Keempat, terhambat perkembangannya. Anak merasa dikucilkan, merasa tidak dibutuhkan, akibat dari kekerasan yang pernah dialaminya. Hal ini sangat mungkin akan berpengaruh pada aspek perkembangan lainnya. Misalnya: ketika anak berinteraksi dengan teman sebaya merasa tidak berharga, menjadi murung dan tidak memiliki motivasi.
Kelima, mudah stress. Kekerasan verbal yang berulang, termasuk kritik, cenderung membuat anak mengkritik diri sendiri. Hal ini dapat membuatnya kecewa dan merasa hidup tidak layak untuk dijalani. Dalam beberapa kasus, perasaan ini juga bisa meningkat menjadi depresi.