Setiap anak adalah pribadi unik, dapat dilihat dari kemampuan, cara belajar, dan hal-hal yang mampu menarik perhatiannya. Oleh karenanya, pola asuh orang tua tampaknya perlu mempertimbangkan kondisi psikologis anak agar pendidikan yang ia dapatkan menyenangkan, ramah, segala kebutuhan dasar tercukupi serta selalu mengedepankan nilai kesetaraan dan keadilan.
Apa yang tersaji di dalam tulisan ini bukanlah standar baku yang langsung dapat diimplementasikan terhadap semua anak. Karena, apa yang akan saya uraikan di dalam tulisan ini merupakan catatan pribadi saya dalam menemani tumbuh kembang anak perempuan saya, yang saat ini berusia 5 tahun (lahir 2017). Tentu saja tulisan ini mengandung bumbu "penyedap" berdasarkan referensi yang pernah saya dapatkan.
Dulu bahkan dulu sekali, saya pernah mendapatkan cerita dari simbah, simbok (ibu), bapak, pak lik (Om), pakde (uwak) dan keluarga saya yang lain.
Mereka mengungkapkan bahwa setiap anak memiliki "langgam" (pembawaan) masing-masing.
Langgam ini sifatnya unik. Saking uniknya langgam tersebut, terkadang orang tua membutuhkan pengetahuan dan energi untuk sekedar menebak (menafsirkan) apa yang menjadi keunikan anaknya.
Saya termasuk orang yang mempercayai 2 hal. Pertama, bahwa anak membutuhkan perlindungan dari orang tuanya, baik untuk perkembangan emosinya, cara berpikirnya, ketahanan psikis dan fisiknya serta model interaksinya dengan teman sebaya.
Kedua, anak juga memiliki kemampuan (kapasitas) bertumbuh dan berkembang yang sama dengan orang yang lebih dewasa, baik tentang kesempatan, potensi, pengetahuan atau bahkan yang lainnya.
Bagi penulis, kedua hal tersebut di atas boleh jadi merupakan bentuk keunikan dari Yang Maha Kuasa bagi setiap manusia, termasuk anak.
Ketika merespon keunikan tersebut, orang tua terkadang memiliki cara dan pendekatan yang tidak sama, baik disandarkan kepada informasi/pengalaman secara turun temurun, otodidak, atau karena pengaruh "doktrin" tertentu atau bahkan karena tidak memiliki referensi yang cukup.