Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Tanoto

Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Fenomena Guyonan Mukidi

Diperbarui: 6 Desember 2018   13:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar:https://www.rappler.com

Media sosial, terutama facebook dan Whatsaap (WA) dalam dua minggu terakhir selama bulan Agustus telah dihebohkan oleh guyonan-guyonan oleh seorang tokoh yang bernama Mukidi. Tokoh Mukidi ini menurut sang pembuatnya, memang sengaja diciptakan. Di satu sisi, guyonan ini dapat menjadi semacam “obat” ketegangan karena disibukkan dengan berbagai persoalan; baik individu, sosial, masyarakat bangsa, dan negara. Namun disi lain guyonan Mukidi juga dapat menjadikan kita latah, inilah yang perlu kita waspadai.

Pada mulanya, guyonan Mukidi tersebar melalui aplikasi perpesanan BBM, WA, line dan aplikasi lainnya. Usut punya usut ternyata guyonan ini bersumber dari blog https://ceritamukidi.wordpress.com. Menurut blog tersebut Mukidi berasal dari Cilacap, tipikal orang yang biasa saja, tidak terlalu alim, mudah akrab dengan siapa saja. Punya karir tapi kadang-kadang bisa menjadi apa saja. Istrinya Markonah, juga punya karir tapi tidak terlalu istimewa. Anak mereka 2 orang, Mukirin yang sudah remaja dan Mukiran yang masih duduk di bangku SD. Sahabatnya adalah Wakijan.

Siapakah sebenarnya tokoh dibalik guyonan Mukidi? Sosok dibalik cerita dan guyonan ala Mukidi adalah Soetanto Moechlas, pria asal Banyumas, Jawa Tengah yang pernah bekerja di perusahan farmasi. Pria yang akrab disapa Yoyok ini dalam suatu kesempatan wawancara di salah satu surat kabar mengungkapkan bahwa dipilihnya nama Mukidi supaya mudah diingat. Sedangkan guyonan ala Mukidi sengaja diciptakan oleh Yoyok sebagai materi penyegaran dan mencairkan suasana ketika melakukan presentasi.

Kalau kita membaca dalam blognya, guyonan Mukidi hampir semuanya ada; mulai dari tentang masakan, pelajar, remaja/pemuda, dokter, rokok, rumah sakit, laki-laki, perempuan dan bahkan guyonan tentang rumah tangga dan alat kontrasepsi, tentu saja dengan latar belakang suatu daerah; Cilacap, Surabaya, Betawi dan bahkan tidak jarang menggunakan logat Madura.

Melihat hal tersebut diatas, sah-sah saja kita sebagai warga yang merindukan guyonan atau penyuka humor mengikuti atau bahkan turut mempopulerkan guyonan ala Mukidi. Namun, menurut hemat saya kita juga tetap perlu melakukan seleksi dan menghindarkan diri dari perilaku “latah” atau hanya sekedar ikut-ikutan meng copy paste menyebarkan di berbagai macam group media sosial dan aplikasi perpesanan lainnya.

Meminjam bahasa Sutanto (guru seni budaya di MTsN Bantul) menyatakan bahwa suatu guyonan apabila di reproduksi terus-menerus dapat menimbulkan kejenuhan. Kita semua paham bahwa keberadaan group di media seperti WA, sejatinya muncul untuk memudahkan komunikasi dalam menyampaikan informasi dan memperlancar penyampaian pesan-pesan berjejraing. Alangkah sayangnya apabila keberadaan suatu grup seperti WA terus-menerus dikirimi guyonan ala Mukidi akan semakin jauh dari fungsi yang sebenarnya.

Selain itu, kita juga perlu berhati-hati dalam membagikan guyonan Mukidi. Kenapa demikian? Karena ada beberapa materi guyonan Mukidi yang menurut saya tidak pas dibaca oleh anak-anak, terlebih bagi yang masih dibawah umur. Apabila ini yang terjadi menurut hemat saya sungguh mengkhawatirkan, karena kita telah turut serta dalam mereproduksi kekerasan dalam bentuk lain terhadap anak.

Memang benar, kita juga tidak boleh menafikkan ada beberapa guyonan Mukidi yang menghadirkan kritik sosial, bukan hanya sekedar mengocok perut. Kita juga dapat melihat dengan jelas bahwa dalam beberapa kisahnya, tokoh Mukidi juga telah dimaksudkan sebagai pengumpamaan untuk mengkritisi hal-hal yang sedang terjadi di masyarakat. Meminjam istilah sosiolog kenamaan dari Universitas Indonesia, JF Warouw yang dimuat dalam berita online (www. beritasatu.com) menyatakan bahwa melihat fenomena tersebut muncul lantaran media internet sudah tidak “aman” lagi untuk menyampaikan kritikan.

Apapun alasannya, kehadiran guyonan Mukidi sedikit banyak telah menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat secara luas. Namun bukan berarti guyonan yang disuguhkan oleh Mukidi membuat lengah, terbuai atau bahkan menjadikan kita abai terhadap persoalan-persoalan yang sesungguhnya, seperti permasalahan kekerasan seksual terhadap anak, perdagangan orang, kesehatan seksual dan reproduksi serta Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sekali lagi saya hanya ingin saling mengingatkan untuk tetap waspada dalam membagikan guyonan Mukidi, terutama bagi anak-nak yang masih berusia di bawah umur.

Tulisan ini juga dimuat di http://mitrawacana.or.id/publikasi/opini/fenomena-guyonan-mukidi/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline