Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Tanoto

Penulis, fasilitator, reviewer, editor

Membincang Fundamentalisme (Islam)

Diperbarui: 20 September 2016   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah “fundamentalisme Islam” sesungguhnya merupakan sesuatu yang elusif (sulit dipahami), karena bukanlah istilah genuine yang lahir dari rahim kosa kata tradisi masyarakat muslim. Dalam catatan yang saya ketahui istilah fundamentalisme pada awalnya mengemuka dari kalangan akademisi di luar Islam dalam konteks sejarah keagamaan dalam masyarakat Barat. Fundamentalisme, karenanya adalah reaksi dan negasi terhadap modernisme.

Fundamentalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada “fundamen” agama Kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama tersebut secara kaku dan literal atau dalam kacamata lain dapat diganti dengan kata apa saja asalkan mempunyai kesamaan makna yang dalam catatan Rumadi (Yogyakarta, 2009) memiliki sedikitnya lima tanda, yaitu: 1) Memberi penekanan interpretasi literal terhadap teks-teks suci agama, 2) Setiap gerakan fundamentalisme hampir selalu dapat dihubungkan dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme, dan militanisme, 3) Fundamentalisme hampir selalu memberi penekanan kepada pembersihan agama dari faham (isme) kontemporer seperti liberalisme, modernisme, dan humanisme, 4) Fundamentalisme melakukan monopoli kebenaran atas tafsir agama, dan 5) Fundamentalisme menolak pluralisme dan relativisme.

Kita semua mafhum bahwa gerakan Islam pada era 1980-an merupakan suatu fenomena umum. Hal ini sebagai akibat dari situasi-kondisi dunia global waktu itu, termasuk didalamnya adalah dunia Islam yang pada saat itu tengah memasuki era transisi. Banyaknya masyarakat muslim yang mengalami deprivasi dan disorientasi merupakan sebagai akibat belum memiliki kesiapan memasuki era tersebut. Untuk mengatasi berbagai persoalan yang mendera ini, mereka berusaha mencari identitas lewat penafsiran agama lebih khas yang pada intinya menekankan pentingnya nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

Gerakan-gerakan sosial keagamaan dengan pelbagai bentuk, corak dan tujuan bukanlah sesuatu yang baru dalam diskusrsus sejarah agama-agama. Demikian pula dengan istilah ”fundamentalisme” yang kini kerap diperbincangkan. Tengok saja pendapat Karens Armstrong penulis buku Berperang Demi Tuhan yang merupakan mantan biarawati Katholik memberikan pernyataan bahwa fundamentalisme memiliki akar gerakan hingga ke abad 14 M. Dalam pandangan Ahmad Gaus AF tidak ada pengertian baku yang disepakati bersama mengenai apa yang dimaksud sebagai fundamentalisme. Maka saya meyakini bahwa sebahagian besar muslim boleh jadi keberatan dengan istilah tersebut. Bukan saja karena gejala fundamentalisme memang lahir dari rahim peradaban Barat (Kristen), namun karena Barat menggunakan istilah itu untuk “memojokka” kaum muslim dan mengidentikkannya dengan kekerasan dan teror.

Baru belakangan istilah fundamentalisme banyak digunakan secara tanpa ragu-ragu oleh orang Islam. Dalam konteks ini penulis sependapat dengan pendapat Bassam Tibbi (Paramadina, 1996) yang menyatakan bahwa fundamentalism bukan sebagai kepercayaan spiritual, tetapi sebagai ideologi politik yang didasarkan pada upaya politisasi agama untuk tujuan-tujuan sosio politik dan ekonomi dalam rangka menegakkan tatanan Tuhan. Selanjutnya, menurut defenisi ini dapatlah dipahami bahwa ideologi ini bersifat tertutup (eksklusif), dalam arti menolak opsi-opsi yang bertentangan, terutama terhadap pandangan-pandangan sekular yang tidak menerima hubungan antara agama dan politik. Jadi sesuai wataknya, fundamentalisme bersifat absolut, dan karena kita bergerak ke abad yang akan datang maka fundamentalisme tampak sedang menempatkan jejaknya pada peta perpolikan dunia, tampil sebagai gerakan politik berbasis agama daripada mengedepankan etika-humanisme agama, mengusung simbol-simbol/komponen-komponen agama demi mewujudkan kepentingan-kepentingan politik dan sosio-ekonomi, serta mencoba menciptakan tatanan dunia baru berdasar ekspresi tatanan Tuhan.

Betapa pun sulit-rumitnya istilah fundamentalisme Islam, namun kita dapat mengambil satu working hypothesis yang diangkat dari temuan-temuan Martin E. Marty dan R. Scott Appleby (Jakarta, 1998) untuk membantu melihat sejauh mana suatu fenomena agama dapat dikategorikan sebagai fundamentalis atau sebaliknya. Hal ini biasanya akan tampak jelas dengan ditandai oleh sikap yang melawan atau berjuang (fight). Di antaranya adalah melawan kembali (fight back) kelompok yang mengancam keberadaan mereka atau identitas yang menjadi taruhan hidup. Mereka berjuang untuk (fight for) menegakkan cita-cita yang mencakup persoalan hidup secara umum, seperti keluarga atau institusi sosial lain.

Kaum fundamentalis biasanya merasa berjuang dengan kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu maupun konstruksi baru. Untuk itu mereka juga berjuang melawan (fight against) ”musuh” tertentu yang muncul dalam bentuk komunitas atau tata sosial keagamaan yang dipandang menyimpang. Terakhir kaum fundamentalis juga dicirikan oleh perjuangan atas nama (fight under) Tuhan atau ide-ide lain meminjam istilah Karen Armstrong (Mizan, 2001) bahwa perbincangan tentang Tuhan adalah perbincangan yang tidak mudah. Artinya kelompok yang mengaku meyakini paham monoteis bersikap amat positif tentang bahasa sembari tetap menyangkal kapasitasnya untuk mengekspresikan kenyataan transenden. Oleh karenya Tuhan yang-dalam beberapa pengertian-berfirman (berkata) dengan kalimat yang begitu krusial di dalam agama-agama. Jadi, kesimpulannya adalah kita sebagai orang yang mengaku beragama harus berani memutuskan apakah Tuhan masih tetap memiliki makna bagi kita pada masa sekarang.

Akhirnya kita sebagai orang yang mengaku beragama memiliki tanggung jawab moral untuk terlibat aktif dalam melakukan aksi pencegahan makin meluasnya paham fundamentalisme. Ada beberapa catatan yang dapat dilakukan untuk meminimalisir persoalan tersebut, yaitu: pertama, dengan melakukan penguatan dan mentradisikan berpikir kritis semenjak usia dini baik dilingkungan individu, keluarga maupun di lembaga pendidikan sebagai upaya penghormatan terhadap realitas keragama-keberagaman sebagaimana semboyan pancasila Bhinneka Tunggal Ika (meskipun berbeda tetap satu jua) yaitu Indonesia atau dengan katan kata lain kita beragama tidak hanya sekedar sami’na wa-atha’na (dengar dan laksanakan) namun sami’na wa pikir-pikirna wa analisana (dengarkan, pikirkan dan analisa). Kedua, belajar menerima kenyataan bahwa keragamanan adalah keputusan Tuhan (Sunnatullah) yang merupakan doktrin kitab suci (al-Qur’an) musti terus-menerus disebarluaskan oleh para institusi negara atau individu-individu yang merindukan kehidupan beragama lebih rukun, dan saling menghargai (mutual understanding) antar manusia. Ketiga, secara struktural (Negara) dalam konteks ini pemerintah harus mampu menciptakan rasa nyaman bagi rakyat dan melakukan tindakan tegas bagi “perusuh” agama.

Selanjutnya dalam konteks kesejahteraan sosial, pemerintah juga memiliki tanggung jawab yang besar sebagai pemegang mandat untuk mengelola Negara dengan melakukan pemerataan pembanguan seadil-adilnya karena tidak dapat dipungkiri bahwa fundamentalism hampir selalu berkaitan dengan motif ekonomi. Keempat, semangat de-fundamentalisme juga harus terus dilakukan mengingat ada sekian banyak warga yang “terpesona” oleh paham ini dan kelima para penggiat agama perlu dusuk bersama untuk menafsirkan kembali istilah-istilah dalam agama (baca:Jihad) yang dijadikan dasar untuk “memerangi” kelompok lain.* Semoga.

 *Dari berbagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline