ANGIN dari utara berhembus cukup kencang. Itu terlihat jelas dari tarian riak kumpulan flora pohon maple di luar sana. Sebagian dedaunan coklat kekuningan tua tak kuat menahan sentuhan sang dewi angin, lalu berjatuhan lunglai dengan anggunnya. Jika kita perhatikan area di sekelilingnya, pemandangan luar biasa yang terkreasi mencuat indah nan mempesona. Musim Gugur ternyata telah menyapa lebih awal dari biasanya. Aku yang sedari tadi berasyik masyuk mengalihkan perhatian ke luar jendela menyadari hal tersebut. Kurasa ada untungnya memilih posisi duduk di dekat jendela, selain dapat menyaksikan geliat kehidupan alam, pun sembari menyimak curahan transfer ilmu dari seorang Profesor di dalam kelas. Ya, hari itu adalah hari pertama aku belajar di salah satu perguruan tinggi di negeri adidaya Hitler, Deutschland.
[caption id="attachment_375521" align="aligncenter" width="547" caption="Guguran Dedaunan Maple yang Berkolektif Padu!"][/caption]
Mekanisme kurikulum pengajaran di negeri ini sungguh ajaib nan mengesankan, pun sekaligus menyusahkan. Fasilitas penunjang pendidikan sungguh mumpuni dan lengkap. Tradisi interaktif dan forum bertukar informasi di dalam kelas merupakan gaya simbiosis yang selalu tereksis penuh makna. Seakan tak ada jarak antara sang pengajar dan pembelajar.
[caption id="attachment_375604" align="aligncenter" width="547" caption="Kumpulan Perdu di Sekitar Kampus yang Menguning Kemilau"]
[/caption]
Satu hal yang kusuka belajar di sini adalah gaya mengajar sang Profesor yang penuh canda tawa bak lakon lawak, bukan sekedar murahan, tapi sungguh elegan dan berkelas penuh wacana. Selalu membiaskan kondisi belajar yang menyegarkan dan tidak kaku.
Namun, tradisi aktif yang menyeruak divergen di forum kelas, terkadang menjadi momok pemicu keringat dingin mencuat dari sarang pori kulit, khususnya bagi mahasiswa asing. Mengapa? Para pelajar asing selalu menjadi sasaran tombak pertanyaan dari sang Profesor, ketika suatu wacana kasus mulai didiskusikan. Alih-alih menghindar dengan mencari strategi posisi duduk di belakang pelajar lokal yang bertubuh gempal, tak menjadikan suatu alasan dari kealpaan sang Profesor. Para pelajar di sini biasa menyebutnya sebagai strategi bayangan. Aku tertawa renyah ketika pertama kali mendengarnya dari teman sekamar di asrama.
Pagi itu, seorang teman baik dari Vietnam bernama Han Sen, duduk tepat dua baris di depanku, menerapkan strategi bayangan yang populer itu. Namun usahanya tidak berhasil. Ternyata tubuhnya yang mungil─yang mendapatkan barrier dari tubuh seorang pelajar Jerman yang berukuran dua setengah kali lipat darinya, nyaris tenggelam tak terlihat dari sudut elevasi sang Profesor, harus memasrahkan diri, tatkala namanya dipanggil untuk menarasikan opininya. Aku sedikit simpati ketika melihatnya berjalan maju tertatih dengan pias wajah cemas nan sayu. Benar saja, pelajar Vietnam itu terlihat seperti kepiting rebus. Wajahnya merah muda ketika beropini dengan suara yang tersendat-sendat seperti pita kaset kusut. Rasa simpatiku seketika pecah menyeringai geli melihat teman baikku itu bertingkah serba salah bak badut menanggapi persfektif deduksi lanjutan dari professor. Kelas bergemuruh penuh tawa menggema, Bahkan, dua teman muslim dari Iran yang mengapitku kiri kanan di tempat dudukku, tergelak tawa tak tertahankan. Aku, Han Sen, dan dua pelajar dari Iran bernama Sajjad dan Siamak berteman baik. Semenjak kejadian itu, Han Sen kami panggil dengan sebutan baru, Mr. Boiling Crap. Kurasa, sepertinya dia cukup senang mendapatkan nama barunya.
Sebenarnya, mendapat jatah pertanyaan dari Professor dan mempresentasikan opini di depan kelas, bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan. Nyatanya, banyak para mahasiswa lainnya mempunyai kemahiran luar biasa dalam menarasikan opini mereka dengan kemampuan public speaking yang mumpuni, seperti pelajar asing dari Negeri Kincir Angin misalnya, Belanda atau mahasiswa lokal. Aku mengagumi kemampuan komunikasi mereka yang sangat baik dan penuh percaya diri.
Sebagai pelajar asing, kesempatan seperti itu, berbicara di depan forum, dapat menjadi tantangan yang berimbas positif. Dengan semakin seringnya beropini di depan kelas, tentu dapat melatih keberanian mental dalam berkomunikasi dan mampu mengemukakan persfektif layaknya seperti memancing ilmu di lautan pengetahuan, tentu pada akhirnya mampu menjala banyak solusi dan gagasan. Nyatanya, alasan mengapa tenaga pengajar di sini selalu melepaskan panah pertanyaan kepada pelajar asing. Rupanya, seiring berjalannya waktu, barulah kuketahui bahwa Profesor di sini sangat menyukai mahasiswa asing─khususnya dari Asia. Itulah sebabnya mereka sangat mafhum dan hapal nama-nama mahasiswa asing di kelasnya. Sang Profesor juga mencoba menjembatani terbentuknya wacana komparasi kondisi yang terjadi di negara-negara pelajar asing berasal. Dengan begitu, terbentuklah arus interaktif bertukar informasi di kelas. Tak jarang, terkadang muncul pemikiran-pemikiran kolektif atas apa yang menjadi perdebatan di kelas. Sungguh menarik, bukan?!
[caption id="attachment_375605" align="aligncenter" width="583" caption="Siapakah yang Berani Berorasi di Kelas Seperti ini?!"]
[/caption]
Pagi itu juga, setelah 20 menit lamanya, Han Sen akhirnya dapat menguapkan napas leganya setelah aksinya beropini. Dengan wajah setengah sumringah, dia kembali ke posisi duduknya. Aku sedikit menyulam senyum dan melambaikan tangan padanya. Dia tersenyum getir dan menaikkan alis barisan semutnya.
“Thank you Mr. Han for expressing your views. Well, to collect any point of opinions for our main discussion today, should we hear from Mr. Valhalla? It’d be great to know what has been happening in Indonesia.” Kata Profesor melanjutkan forum diskusi di kelas.
DEG!DEG!DEG! Seketika, yang kurasakan, seperti ada sebongkah es runcing menjalar turun dari ujung kepala hingga ke ujung jemari kaki, ketika mendengar namaku digaungkan. Sudah dipastikan, kali ini giliranku yang harus berorasi di depan kelas. Kali ini aku sadar, sedikit kegugupan yang bersembunyi mulai menujudkan diri. Dua Iranian yang mengapitku tampak menyeringai getir sembari mengerlingkan mata dan mengarahkan dua jempolnya di wajahku. Sementara Han Sen tampak tersenyum culas memburuku seakan senang tak ternafihkan. Kali ini dia pasti akan membalasnya dengan tawa petirnya saat aku beraksi kelabakan di depan kelas. Dia beranggapan aku akan berlakon sama dengannya, laksana kepiting rebus yang berpantomim seperti badut. Kuayunkan langkah kakiku menuruni anak-anak tangga yang mengarai. Samar-samar aku masih mendengar riuh rima cekikikan Han Sen dan dua Iranian itu. Waktu seakan berjalan lambat. Dalam kebisuan diri yang membeku, aku memberanikan diri menyerahkan kepasrahan yang hinggap. Membiarkan arus takdir mengalir seutuhnya! [CV]
------------------------------
Musim Gugur, Deutschland
P.S : Gambar adalah dokumen pribadi penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H