Pilkada serentak 2024 menjadi momentum penting bagi demokrasi Indonesia. Namun, di balik semangat pesta demokrasi, ada bayang-bayang buruk yang kembali muncul: praktik "serangan fajar." Istilah ini merujuk pada pemberian uang atau barang untuk mempengaruhi pilihan pemilih pada hari pemungutan suara. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun sistem pemilu kita semakin modern, tantangan dalam menjaga integritas demokrasi masih besar.
Serangan Fajar: Tradisi Lama yang Masih Bertahan
Serangan fajar bukanlah hal baru dalam politik Indonesia. Sejak era Orde Baru hingga kini, praktik ini terus menjadi senjata para calon yang ingin memenangkan suara dengan cara instan. Strategi ini sering menyasar kelompok masyarakat rentan, seperti warga di daerah pedesaan atau golongan ekonomi lemah. Dengan iming-iming uang tunai atau sembako, pemilih diajak untuk "menjual" suara mereka, yang sebenarnya merupakan hak mereka sebagai warga negara.
Mengapa Serangan Fajar Masih Terjadi?
1. Ketimpangan Sosial dan Ekonomi
Kemiskinan menjadi salah satu faktor utama yang membuat masyarakat rentan terhadap bujukan serangan fajar. Uang tunai atau bantuan barang dianggap sebagai solusi jangka pendek atas kebutuhan hidup.
2. Kurangnya Pendidikan Politik
Banyak pemilih yang masih belum memahami pentingnya memilih berdasarkan visi, misi, dan integritas calon, bukan dari uang yang diterima.