Lihat ke Halaman Asli

Adam Sundana

Prodi PJJ Komunikasi - Universitas Siber Asia

Tantangan dan Etika Literasi Digital pada Kampanye Pilpres 2024 di Media Sosial

Diperbarui: 6 Februari 2024   05:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Pexels/cottonbro studio

Banyak orang menganggap pemilihan presiden 2024 sebagai peristiwa politik penting. Salah satu elemen yang menarik untuk diperhatikan adalah kampanye media sosial yang berhasil dilakukan oleh para calon presiden dan wakil presiden, melalui timses mereka. Media sosial telah berubah menjadi tempat pertarungan politik untuk mendapatkan simpati dan suara pemilih. Hal ini menghasilkan peluang baru bagi demokrasi Indonesia dan juga tantangan baru.

Sebaliknya, media sosial meningkatkan partisipasi publik dan akses informasi. Sangat mudah bagi para pendukung untuk memantau perkembangan kampanye, berkomunikasi dengan timses kandidat, dan menyuarakan pendapat mereka.

Sebaliknya, media sosial juga rentan terhadap penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan manipulasi informasi. Masyarakat yang kurang dalam literasi digital dapat dengan mudah terpengaruh oleh informasi yang salah dan menyesatkan.

Oleh karena itu, literasi digital sangat penting untuk memahami dan menghadapi fenomena yang terjadi di media sosial selama kampanye pemilihan presiden ini. Masyarakat harus diberi pengetahuan dan keterampilan untuk membedakan informasi yang dapat dipercaya, menganalisis konten secara kritis, dan menyebarkan informasi yang bertanggung jawab.

Semua pihak yang terlibat dalam kampanye pemilihan presiden harus memahami berbagai aspek fenomena media sosial ini.

Tiktok Ramai Saat Masa Kampanye.

Di antara berbagai platform media sosial, TikTok tampaknya menjadi satu diantara platform yang paling ramai dalam kampanye pilpres 2024. Platform ini populer di kalangan generasi muda, yang merupakan target utama kampanye politik.

Kampanye di TikTok umumnya dilakukan dengan cara membuat video pendek yang menarik dan menghibur. Video tersebut dapat berisi visi dan misi kandidat, program kerja, atau bahkan konten lucu dan kreatif untuk menarik perhatian pemilih. Tidak sedikit konten video yang dibuat untuk menyerang capres atau cawapres lain melalui rekam jejak yang ada.

Kampanye Pilpres Melalui Media Sosial Apa Kelebihan dan Kekurangannya?

Kampanye pilpres melalui media sosial menawarkan sejumlah kelebihan, di antaranya:

  • Jangkauan Luas: Kandidat dapat menjangkau lebih banyak pemilih melalui penggunaan media sosial, termasuk mereka yang tidak dapat dijangkau melalui cara kampanye yang lebih konvensional.
  • Interaksi Dua Arah: Media sosial memberikan kesempatan kepada pemilih dan kandidat untuk berkomunikasi bolak-balik, sehingga meningkatkan keterlibatan publik dalam cara kerja sistem politik.
  • Efektivitas Biaya: Dibandingkan dengan metode tradisional, kampanye media sosial biasanya lebih terjangkau, menawarkan cara praktis untuk mengelola dana kampanye.

Namun, terdapat beberapa kelemahan penggunaan media sosial untuk kampanye pemilu presiden, seperti:

  • Penyebaran ujaran kebencian dan hoax: Hoax dan ujaran kebencian berpotensi menyebar di media sosial, membahayakan demokrasi dan memecah belah masyarakat.
  • Manipulasi informasi: Pemilih dapat ditipu dengan menyebarkan informasi palsu di platform media sosial.
  • Kurangnya akuntabilitas: Memantau dan mengatur kampanye di media sosial bisa jadi sulit karena platform media sosial tidak selalu transparan mengenai algoritma dan kebijakannya.

Tantangan Etika yang Muncul Selama Kampanye Pilpres di Media Sosial.

Calon presiden dan wakil presiden, tim sukses, dan pemilih harus mengatasi atau mengurangi sejumlah kendala etika dalam kampanye pemilu presiden di media sosial. Inilah dua dilema moral yang saya lihat:

  • Pelanggaran hak cipta dan privasi. Kampanye pilpres melalui media sosial dapat melanggar hak cipta dan privasi, yang dapat merugikan para capres-cawapres, tim sukses, atau pemilik konten asli. Media sosial dapat menjadi sarana yang mudah dan sering untuk menyalin, mengedit, atau memanipulasi konten yang dibuat oleh orang lain, tanpa izin, pengakuan, atau kredit yang layak, yang dapat mengurangi nilai, kualitas, atau orisinalitas konten tersebut. Media sosial juga dapat menjadi sarana yang rentan dan sering untuk mengungkap, mengintip, atau mengambil data, informasi, atau gambar pribadi yang dimiliki oleh orang lain, tanpa persetujuan, perlindungan, atau keamanan yang memadai, yang dapat mengganggu hak, kebebasan, atau kenyamanan orang tersebut.
  • Pembohongan, penipuan, dan manipulasi. Kampanye pilpres melalui media sosial dapat melakukan pembohongan, penipuan, dan manipulasi, yang dapat mengecoh, menyesatkan, atau mempengaruhi pemilih. Media sosial dapat menjadi sarana yang licik dan sering untuk menyembunyikan, menyamar, atau mengubah identitas, sumber, atau tujuan dari konten, media, atau orang yang terlibat dalam kampanye politik, yang dapat menurunkan kepercayaan, kredibilitas, atau akuntabilitas dari konten, media, atau orang tersebut. Media sosial juga dapat menjadi sarana yang cerdik dan sering untuk memanfaatkan, memanipulasi, atau mengendalikan emosi, persepsi, atau perilaku politik dari pemilih, yang dapat mengubah, mengganggu, atau menghambat hak, kewajiban, atau tanggung jawab politik dari pemilih.

Dapat disimpulkan, kampanye pilpres 2024 di media sosial menghadirkan peluang dan tantangan baru bagi demokrasi di Indonesia. Literasi digital menjadi kunci untuk memahami dan menghadapi fenomena ini. Masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan untuk mengidentifikasi informasi yang kredibel, menganalisis konten secara kritis, dan menyebarkan informasi yang bertanggung jawab.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline