Setelah tertunda karena kesibukan ngejazz bersama Merapi, akhirnya selepas tahun berganti Ngayogjazz (di)hadir(kan) kembali di Jogja Selatan: Bantul! Masih dengan konsep Jazz masuk kampung, Jazz yang mengajak seluruh pihak berinteraksi langsung dengan suasana kampung. Kali ini acara dilakukan di Pelataran Djoko Pekik Sembungan Kasihan Bantul, dekat dengan Makam Cina Gunung Sempu yang cukup legendaris itu. Acara yang di pimpin Pangageng Hangabehi Ki Djaduk Ferianto ini, mencatat sekian nama asyik yang tampil: Simak Dialog, CHASEIRO, Gugun Blues Shelter, Syaharani & ESQI:EF, Glen Fredly, Tohpati Bertiga, Iga Mawarni, Sujud Kendang, Muci Choir, Komunitas Jazz Ngisor Ringin Semarang, Komunitas Jazz mBen Senen Jogja dan banyak lagi. Yang paling membuat asyik dan membedakan dengan pertunjukan Jazz di tempat lain adalah, pertunjukan ini selalu GRATIS! Yang lebih asyik juga adalah tak ada batas jelas antara artis, penonton, panitya maupun sekuriti semua berinteraksi dalam ruang yang sama. Jalan menuju panggung dari lokasi transit juga melewati kerumunan penonton, tak ada histeris yang berlebihan kecuali atas penampilan mereka dipanggung.
Sore itu selepas sejenak menengok sebuah makam di bukit belakang PG Madukismo, aku tiba di lokasi dengan disambut penampilan Gugun Blues Shelter, mereka menampilkan blues dengan sempurna. Rasanya mereka mengingatkan kembali padaku bahwa ada musik blues yang dahsyat. Grup yang digawangi oleh Muhammad Gunawan (Gugun), John Armstrong (Jono) dan Adityo Wibowo (Bowie) ini cukup eksis di pentas-pentas mancanegara, tak salah jika mereka sangat ditunggu oleh para penonton dari generasi masa kini, dan juga generasi pecinta blues lintas generasi. Sambil memainkan kamera DSLR kesana kemari, aku membiarkan diriku digedor-gedor permainan mereka di dekat speaker!
Menjelang maghrib di "panggung tambur", dibawah rerimbunan pohon bambu, aku menemukan diri berada dalam harmoni suara alam yang asyik. Suara sungai, suara senja dan Muci Choir, menyanyikan Java Coffe dari Manhattan Transfer dengan merdu sekali. Selain itu, kelompok yang juga memiliki satu anggota yang belum akil baliq (masih anak-anak) ini, juga dengan ciamik mendendangkan Lesung Jumengglung karya dari Ki Narto Sabdo, luar biasa!
Selepas berhujan-hujan dan mengisi perut, aku melewatkan Tohpati dan Simak Dialog untuk ikutan kongkow bersama CHASEIRO, tujuan utamaku datang di Ngayogjazz kali ini. Seperti yang tadi aku utarakan, hampir tak ada sekat, siapa saja bisa berbincang dengan setara. Bersama gempita tawa penonton dan suara unik Sujud Kendang, CHASEIRO seolah disambut ketika menuju panggung. Akupun harus meminta maaf kepada Iga Mawarni karena harus melewatkan penampilannya di panggung lain, demi CHASEIRO! dan kemudian: "bersatulah semua seperti dahulu ... " Nostalgia pun dinikmati oleh mereka yang lahir ditahun 70an.
Semakin malam, semakin becek meski hujan tlah berhenti namun penonton terus mengalir untuk datang, ya masih ada Glen Fredly dan Syaharani & ESQI:EF giliran mengharu biru penonton muda. Malam mulai pergi ketika keriuhan jazz usai diganti keriuhan mencari kendaraan untuk menuju jalan pulang. Semua pulang membawa aneka warna kenangan: Mangan ora Mangan Ngejazz ! Setelah semalam, jejak tak juga hilang dari hati masih tersisa suaraku yang serak karena ikutan berdendang ... Jogjajazz Istimewa! -- by Cuk - Jogja Utara, 16 Januari 2011, 20.50 WIB --
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H