Lihat ke Halaman Asli

Percaya Sebelum Melihat

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya sempet kaget ketika membaca artikel yang menanyakan tentang ke-Esa-an Tuhan yang ditulis oleh salah seorang mahasiswa. Artikel itu dia tulis sebagai tanggapan setelah menonton film Cin(T)a, film yang menuai banyak kontroversi karena mengangkat tema cinta beda agama. Film ini seakan-akan mencoba untuk mentoleransikan sebuah perbedaan agama dalam hubungan cinta.

Yang mengusik hati saya dalam artikel tersebut, dia mengatakan bahwa “Jika kita benar-benar jujur, hampir semua dari kita sama seperti tokoh film tadi. Oke, di mulut kita setuju Tuhan itu satu, tapi nyatanya selalu ada Tuhan yang paling benar. Jadi, sebetulnya, Tuhan mana yang kita bicarakan? Jangan-jangan, selama ini ada dua Tuhan, yang Esa dan Tidak Esa. Jangan-jangan, selama ini kita keseleo lidah, menggunakan terminologi Tuhan, padahal yang kita maksud adalah agama. Atau, jangan-jangan, Tuhan memang tidak Esa. Keesaan hanyalah ilusi yang kita ciptakan sebagai obat penawar dari perbedaan yang terkadang begitu menyakitkan dan merepotkan jika bergesek.”

Di bagian akhir artikelnya dia juga berkata “Sekarang, untuk pertama kalinya saya memberanikan diri untuk mempertanyakan ulang semua yang saya percayai tentang Tuhan, termasuk sejauh mana saya telah menyalahgunakan konsep iman selama ini. Karena, tanpa mengecilkan arti kata iman yang didefinisikan sebagai 'percaya sebelum melihat', mudah sekali kita berlindung di balik keimanan untuk mengklaim berbagai hal yang tak kita alami langsung. Hal-hal yang sebenarnya cuma asumsi berkarat dan berkerak tapi kita anggap sebagai kebenaran mutlak. Dan baru saat itulah, saat saya berani melonggarkan cengkeraman saya atas konsep kebenaran, untuk pertama kalinya pula secara tulus saya melihat perbedaan dan keberagaman sebagai sebuah perayaan.” Dia menganut seorang guru spiritual, Osho yang berpendapat bahwa hanya pengalaman yang hidup sedang keyakinan tanpa melihat secara nyata adalah mati.

Yang dapat saya simpulkan setelah membaca artikel tersebut, mahasiswa ini berusaha menyampaikan bahwa Agama dan ketuhanan adalah teori yang mati. Iman hanyalah asumsi yang berkarat dan berkerak tapi kita anggap sebagai kebenaran mutlak. Keimanan adalah keterbatsan dan alasan kita untuk bermalasan. Agama dan keimanan hanyalah sesuatu yang mati, pengalamanlah yang hidup; bagaimana oranng bisa percaya tuhan kalau tidak pernah mempunyai pengalaman tentang Tuhan?

Untuk mencapai kata percaya terkadang kita harus percaya kepada orang yang lebih kompeten dari pada kita. Hal itu tergantung permasalahan serta penyampai berita, bila kita melihat penyampai berita itu orang yg tsiqoh secara umum, terlebih nabi maka sepantasnya kita harus mempercayainya,toh bila kita mau membuktikan berita yg ternyata kita tidak mampu untuk melaksanakannya, akibatnya akan fatal, coba saja anda minum baigon cair bila anda tidak percaya pada siapapun dan harus membuktikannya, kita hidup bermasyarakat ini tidak bisa terlepas dari campur tangan orang lain, walau sekedar informasi, dan tentunya bila pembawa berita itu layak di percaya kita juga wajar kalau mempercayainya.

Berdasarkan yang pernah saya dengar dari guru-guru dan buku yang saya baca, ada orang yang berpengalaman di bidang keimanan dan ketuhanan, tapi hendaknya seseorang mengaca pada diri masing-masing ,apakah pantasuntuk mengalami berbagai perjalanan keimanan serta ketuhanan? Sebenarnya juga diajarkan bagaimana kiat-kiat untuk meraih hal itu, banyak ulama menerangkan untuk mencapai makri'at harus melalui syariat-toriqot-makri'at. Bila mahasiswa yang menulis artikel tersebut ingin berpengalaman dalam hal keimanan, hendaknya dia melewati jalan ini, karena sudah dibuktikan oleh ulama terdahulu tentang hal ini, dan bukan mencari cara sendiri sebagai jalan pintas. Sebagaimana kebenaran racun dalam baigon yang mematikan saat diminum, perjalanan spiritual sebenarnya juga sudah teruji, namun tinggal bagaimana kita bisa mempercayai atau tidak orang-orang yang mengujinya, dan tentunya sebelum percaya terhadap siapa yang menguji tersebut kita perlu tau dulu, siapa dia , dari mana asalnya serta hal-hal lain yang dapat menguatkan bahwa orang ini tsiqoh/dapat di percaya di bidangnya.

bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline