Lihat ke Halaman Asli

Cucum Suminar

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Beli Baju hingga Nastar, agar Lebaran Tak Terasa Hambar

Diperbarui: 7 Mei 2021   15:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baju-baju muslim. | Dokumentasi Pribadi

Saya selalu rindu dengan suasana Idulfitri. Suasana lebaran. Setiap kali hari kemenangan umat muslim tersebut tiba, selalu ada kemeriahan khas yang tidak bisa didapatkan di hari lain. Suasana terasa lebih semarak, orang-orang di sekitar juga terlihat lebih hangat.

Dulu sebelum menikah, satu hari sebelum Idulfitri saya dan mama biasanya sibuk memasak. Kami membuat gulai, semur daging, opor ayam, serundeng buncis, sambal goreng kentang dan ketupat. Biasanya kami membuat agak banyak. Sebagian kami makan sendiri dan dibagi ke kerabat dan tetangga terdekat, sebagian kami bawa ke masjid dekat rumah.

Setiap malam menjelang Idulfitri, banyak bapak-bapak dan anak laki-laki di sekitar rumah yang menghabiskan waktu di masjid. Mereka biasanya bertakbir, menabuh beduk hingga bershalawat. Sehingga, suasana Idulfitri terasa sangat semarak. Terasa begitu haru dan syahdu.

Meski tidak diminta, banyak ibu-ibu di sekitar rumah yang menyisihkan masakan Idulfitri untuk disedekahkan ke masjid. Biar bapak-bapak dan anak laki-laki yang bertakbir semalaman terjamin makanannya. Tidak kelaparan atau harus repot membawa bekal dari rumah.

Gulai. | Dokumentasi Pribadi

Esok paginya kami salat Idulfitri, bersalaman, bermaafan dengan para tetangga. Setelah itu, kami langsung mudik dari Bogor, Jawa Barat, ke Sukabumi, Jawa Barat. Kakek-nenek saya, baik dari pihak ibu maupun ayah, tinggal di kota tersebut. Hanya berbeda kecamatan.

Kami mengenakan pakaian terbaik. Bukan, bukan ingin pamer. Hanya sebagai bentuk menghargai Hari Raya Idulfitri. Hari kemenangan. Biar terasa berbeda dibanding hari lain. Apalagi kami dulu sering pulang kampung, terkadang satu minggu sekali, terkadang dua minggu sekali. Tergantung sempatnya.

Biasanya saat mudik Idulfitri kami membawa kue-kue kering yang dikemas cantik di dalam toples. Bingkisan pakaian, mukena, sarung, bahkan uang tunai, sudah diserahkan beberapa minggu sebelumnya. Biar saat Idulfitri bisa langsung dikenakan, bisa dimanfaatkan oleh kakek dan nenek.

Aneka kue kering. | Dokumentasi Pribadi

Kami tidak membawa olahan khas lebaran seperti ketupat, daging dan lain-lain. Nenek biasanya sudah menyediakan makanan khas lebaran dengan porsi yang lebih banyak dan rasa yang lebih enak. Itu makanya kami hanya membawa kue-kue kering yang nenek tidak bisa buat. Nenek dan kekek hanya mahir membuat kue-kue tradisional, mulai dari kue tambang, kue cincin, wajik, dan tape ketan.

Setelah menikah dan pindah dari Bogor ke Batam, Kepulauan Riau. Saya tetap bisa merasakan kemeriahan Idulfitri. Kakek-nenek suami yang tinggal di Pulau Belakangpadang, Batam, memiliki tradisi yang hampir sama dengan tradisi keluarga besar saya.

Serundeng hingga opor ayam. | Dokumentasi Pribadi

Saat lebaran semua keluarga berkumpul dan memasak makanan khas lebaran dalam porsi yang lumayan banyak. Hanya saja karena berbeda daerah, beberapa jenis masakan berbeda dengan masakan yang kerap dibuat oleh keluarga besar saya.

Pada hari pertama Idulfitri, setelah salat id berjamaah, kami berkumpul bersama, berdoa. Setelah itu saling bermaafan dan makan bersama. Setiap dari kami mengenakan pakaian terbaik. Bukan, bukan bermaksud riya, tetapi lebih kepada menghargai Hari Raya Idulfitri. Apalagi di hari kemenangan ini memang disunahkan untuk mengenakan pakaian terbaik dan wewangian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline