Lihat ke Halaman Asli

Cucum Suminar

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Lakukan Tiga Hal Ini agar Pertanian Indonesia Maju

Diperbarui: 2 Mei 2019   15:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persawahan di Sukabumi, Jawa Barat. | Dokumentasi Pribadi

Saya ingin jadi polisi!

Hmm... jadi dokter.

Mau jadi guru.

Saat menanyakan profesi impian saat sudah dewasa kelak pada anak-anak, umumnya mereka menjawab seperti yang saya tuliskan di atas. Beberapa ada yang menjawab ingin menjadi pengusaha, ingin jadi chef, ada juga yang menjawab ingin menjadi presiden. Tak sedikit yang menjawab ingin menjadi youtuber.

Namun dari sekian banyak anak yang pernah saya tanya, tak ada satupun yang menjawab ingin menjadi petani. Padahal beberapa anak yang pernah saya ajak ngobrol-ngobrol ringan mengenai profesi yang ingin ditekuni setelah dewasa kelak, berasal dari desa, yang kiri-kanan tempat ia tinggal masih berupa persawahan. Miris? Iya! Namun kalau ditanya apakah kaget, tentu tidak.

Keluarga besar saya adalah petani. Turun-temurun mengelola persawahan di sebuah desa di Sukabumi, Jawa Barat. Sejak kecil kami sekeluarga sudah akrab dengan lumpur. Terbiasa bermain di pematang sawah. Tak heran melihat kerbau yang berjalan ke sana-kemari untuk menggemburkan tanah.

Namun apakah tertarik untuk menjadi petani? Tidak! Profesi petani di keluarga saya berakhir hingga nenek-kakek saya. Setelah generasi ibu dan ayah, beralih profesi ke bidang lain. Sawah yang kami miliki tetap dikelola, namun hasilnya lebih banyak untuk konsumsi pribadi. Jarang untuk dijual seperti leluhur kami dulu.

Biaya Tanam Semakin Mahal, Buruh Tani Semakin Jarang

Dulu saat swasembada beras ramai didengungkan, nenek saya bilang, hasil dari pertanian masih sangat bisa diandalkan. Nenek dan kakek saya, juga tetangga satu kampung, bisa berangkat ke tanah suci dengan menabung dari hasil penjualan pertanian. Padahal naik haji pada awal tahun 1970-an juga tidak murah, meski masih menggunakan kapal laut.

Generasi penerus yang tak lagi tertarik berkarir di bidang pertanian. | Dokumentasi Pribadi

Kini bertani lebih banyak menyedot biaya karena beberapa komponen naik sangat drastis. Para petani harus lebih dalam merogoh kocek untuk membeli pupuk, pestisida, dan biaya buruh yang mengerjakan proses tanam dari benih hingga berbentuk untaian padi yang menguning.

Meski masih berbasis pertanian, kampung tempat saya lahir tak lagi menyisakan generasi muda yang hobi bertani. Tidak ada generasi milenial yang mau turun ke sawah menanam padi. Alhasil, semua proses dari awal hingga akhir, dikerjakan oleh buruh tani yang mulai sepuh yang jumlahnya juga semakin terbatas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline