Lihat ke Halaman Asli

Cucum Suminar

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Sepeda, Kerap Mengingatkan Saya akan Ramadan Sewaktu Kecil

Diperbarui: 3 Juni 2018   20:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber: gemintang.com)

Saat kecil dulu, Ramadan itu identik dengan bermain. Itu makanya meski harus menahan lapar dan haus selama satu hari penuh selama (hampir) 30 hari, saya selalu antusias menyambutnya. Terlebih saat sekolah dulu, setiap kali Ramadan, tidak ada kegiatan belajar-mengajar di sekolah, paling hanya ikut pesantren kilat, itupun setelah duduk di bangku sekolah menengah.

Pengajian yang diadakan sehabis shalat magrib juga diliburkan. Pengajian yang menghimpun anak-anak usia sekolah di sekitar rumah baru mulai lagi setelah Ramadan berlalu. Biasanya satu minggu setelah Idulfitri. Sehingga, masa liburan sekolah, benar-benar dimanfaatkan untuk bermain.

Selain puasa dan shalat wajib, sewaktu kecil ibadah yang rutin saya lakukan saat Ramadan adalah tarawih dan tadarus. Bila tidak ada halangan yang begitu mendesak, tarawih adalah kegiatan yang wajib dilakukan. Begitupula dengan tadarus. Terutama saat duduk di bangku sekolah dasar. Tidak ada alasan untuk mangkir.

Namun saya tetap lebih suka tadarus dibanding mengaji satu persatu di guru ngaji yang masih terhitung tetangga, yang saya lakukan setelah magrib. Alasannya kegiatan tadarus paling lama hanya satu jam. Biasanya dilakukan usai shalat tarawih. Selain itu, kita hanya membaca beberapa ayat, karena bergantian membaca dengan anak lain. Kalau mengaji biasanya hingga beberapa lembar Al-Quran.

Menjelajah Kota Sambil Bermain Sepeda

Saat saya masih duduk di bangku SD, awal 1990-an, Bogor, Jawa Barat belum seramai seperti saat ini. Sehingga dulu, usai makan sahur saya dengan beberapa teman sebaya yang masih terhitung tetangga suka "nyubuh" berkeliling kota dengan menggunakan sepeda. Saya berangkat dari Cipaku, kediaman saya saat itu, ke Batutulis, lanjut ke Lolongok, kemudian ke Jalan Suryakencana.

Sambil menggowes sepeda, kami juga membawa raket bulutangkis. Sehingga saat menemukan lapangan yang cukup luas, kami berhenti dulu dan bermain bulu tangkis hingga puas. Menjelang pagi, sebelum angkot-angkot berwarna hijau dan biru itu semakin banyak, kami sudah menuju pulang ke rumah masing-masing.

Terkadang kami juga sok-sokan bermain detektif-detektifan. Pernah dulu kami melihat saluran air salah satu rumah yang berwarna merah terang, seperti darah. Air di got kecil tersebut menggenang lumayan banyak. Kami saling menebak, jangan-jangan ada pembunuhan, jangan-jangan ada yang terluka. Haha padahal itu sisa pewarna pakaian. Si empunya rumah baru selesai mencuci, kebetulan bajunya luntur. Efek waktu kecil terlalu sering membaca buku-buku Lima Sekawan.

Sore harinya, saya kembali bermain sepeda. Namun karena jalan raya lebih ramai saat sore, saya biasanya bermain sepeda di lapangan yang sangat luas dekat rumah. Saya dan beberapa teman bermain sepeda sambil berlomba siapa yang paling cepat mengelilingi lapangan sepak bola tersebut. Menjelang magrib, kami membeli es krim dan jajanan-jajanan lain untuk berbuka puasa.

Saking seringnya bermain sepeda --dan pernah ada yang melapor ke orang tua, saya sering bermain sepeda hingga jalan raya dengan kondisi yang cukup padat kendaraan, sepeda saya sempat disita. Mama tak lagi mengizinkan saya bermain sepeda, kecuali di halaman samping rumah.

Sedih? Awalnya saja, setelah itu saya kembali larut bermain dengan teman-teman sebaya. Tidak ada sepeda ternyata tidak menyurutkan keasyikan untuk bermain saat Ramadan. Setelah sepeda disita, saya lebih sering bermain permainan tradisional dengan teman-teman yang lain --berbeda kelompok dari gank sepeda, biasanya saya bermain galasin, petak umpet, hingga gobak sodor.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline