Lihat ke Halaman Asli

Cucum Suminar

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Hadiah Terbaik dari Seorang Ibu adalah Pendidikan

Diperbarui: 2 Januari 2018   10:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. | Dokumentasi kredit.com

Mama hanya bisa ngasih kamu pendidikan. Saat Mama sudah tidak ada, jangan pernah berharap warisan apapun.Warisan bisa habis, tapi keahlian akan melekat selamanya.

Saya masih ingat, sejak duduk di bangku sekolah menengah, mama selalu mengatakan kalimat tersebut berulang-ulang. Biasanya beliau mengatakan kalimat itu pada malam hari, saat kami tidak melakukan aktivitas apapun, selain bersantai dengan menonton sinetron di salah satu televisi.

Saat itu, saya iya-iya saja. Tidak terlalu memikirkan serius apa yang dikatakan mama. Apalagi saat SMP dan SMA saya termasuk "penggila" sinetron. Sehingga, biar ibu saya itu tidak terus-menerus memberikan nasihat, saya iyakan saja. Daripada saya tidak konsen menyimak akting dari aktor yang saya sukai hehe.

Selalu Menyediakan Dana Pendidikan yang Saya Minta

Kami bukan dari kalangan keluarga berada. Ayah saya saat itu hanya memiliki penghasilan bulanan yang tidak lebih besar dari UMK Bogor, Jawa Barat. Bila dihitung secara matematis, untuk membayar listrik, air, dan penganan empat sehat lima sempurna saja sudah sangat pas-pasan.

Namun entah mengapa, untuk apapun yang saya minta --selama masih terkait dengan pendidikan, mama pasti akan menyanggupi. Beliau akan mengatakan uangnya ada, perlu berapa. Bahkan saat saya meminta uang tersebut secara dadakan. Hari ini minta, esok pagi harus sudah ada.

Saat masih sekolah, saya memang cukup aktif ikut berbagai les dan kursus. Selain les untuk pemantapan mata pelajaran yang diadakan salah satu bimbingan belajar ternama di Kota Bogor, saya juga ikut kursus bahasa Inggris di salah satu lembaga bahasa favorit. Belum lagi kursus komputer.

Bila dihitung-hitung, uang bulanan yang diterima ibu saya dari ayah sepertinya tidak akan cukup untuk biaya saya les dan kursus setiap bulan. Belum lagi biaya sekolah, yang meski tidak memerlukan biaya banyak --karena sejak SD hingga SMA saya bersekolah di sekolah negeri, tetap saja membutuhkan biaya yang lumayan. Apalagi ibu sering memberi saya uang lebih karena sehabis pulang sekolah saya harus lanjut les dan kursus.

Untuk menutupi kekurangan dana, ibu biasanya berjualan kue. Beliau menerima pesanan kue dari tetangga dan sahabat. Tanpa sepengetahuan saya, beliau ternyata terkadang meminjam uang kepada kerabat dan tetangga. Saking terpepetnya, beliau katanya bahkan pernah meminjam uang ke salah satu "bank keliling". Alhasil beliau harus mengembalikan uang yang dipinjam beserta bunga yang lumayan besar. Saya baru tahu belakangan setelah ibu saya meninggal.

Saat saya lulus SMA dan tidak diterima di perguruan tinggi negeri, Mama tetap mendukung. Beliau bahkan menyarankan agar saya segera memilih perguruan tinggi dengan jurusan yang sesuai dengan keinginan hati. Saat saya memilih salah satu perguruan tinggi swasta yang berbiaya cukup mahal, beliau tetap mengiyakan, merestui saya melanjutkan pendidikan di universitas tersebut.

Namun saya tahu diri. Saya akhirnya memilih perguruan tinggi swasta dengan biaya yang lebih terjangkau. Meski mama tidak pernah mengeluh, tak pernah begitu terbuka dengan kondisi keuangan keluarga yang morat-marit, saya tahu bagaimana kondisi finansial keluarga kami sebenarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline