Hari masih gulita saat kami bersiap untuk menjelajah Objek Wisata Gunung Bromo, gunung yang membentang di empat kabupaten -- Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang, Jawa Timur. Jam masih menunjukan pukul 01:00 WIB. Waktu yang sebenarnya lebih nyaman untuk tertidur lelap sambil bermimpi indah.
Namun karena sudah diwanti-wanti dari satu hari sebelumnya oleh si pemilik jeep yang kami sewa, akhirnya meski dengan kepala yang sedikit pening akibat kurang tidur, saya dan empat rekan dari Batam, Kepulauan Riau, tetap siap tepat waktu. Kami turun persis saat si pemandu tiba di depan Best Western OJ Hotel Malang, tempat kami menginap.
Sejak awal dihubungi, pemilik jeep yang merangkap sebagai pemandu tersebut memang sudah mewanti-wanti agar kami berangkat tepat waktu. Tujuannya agar dapat menikmati sunrise di kawasan wisata tersebut melalui Puncak Mentigen. Bila terlambat sedikit saja, katanya bisa jadi kami akan kehilangan momen untuk melihat salah satu pemandangan matahari terbit yang paling indah.
Saya sebenarnya bukan pemburu sunrise, apalagi pecinta gunung. Kalaupun hanya rezeki melihat objek-objek wisata lain di Gunung Bromo, tidak masalah. Namun tidak keempat rekan yang lain, apalagi salah satunya adalah si pendaki sejati saat masih remaja dulu. Sehingga, melihat sunrise di atas gunung --terlebih dari kawasan Gunung Bromo, adalah segalanya.
Alhasil karena jadwal keberangkatan yang begitu dini, baru lima menit memulai perjalanan dengan menggunakan jeep berwarna merah, saya sudah terlelap. Saya bahkan tidak menyadari kala salah satu rekan mengambil video saat saya tertidur. Alhasil rekaman tersebut menjadi bulan-bulan selama beberapa hari.
Saya baru terjaga saat kami sampai di pintu masuk Objek Wisata Gunung Bromo, itupun karena dibangunkan. Setelah semua terjaga, pemilik jeep meminta kami turun. Ia juga menyarankan agar kami membeli kupluk dan sarung tangan yang dijual beberapa pedagang dengan harga yang sangat terjangkau --yakni Rp10.000/buah. Kebetulan saat itu tidak ada satupun dari kami yang membawa topi maupun sarung tangan. Kami hanya menyiapkan diri dengan mengenakan pakaian tebal dan sepatu nyaman.
Selain diimbau membeli topi, pemilik jeep tersebut juga menyarankan agar kami mampir (maaf) ke toilet. Ia mengatakan, udara yang dingin bukan tidak mungkin memicu kami tidak bisa menahan pipis. Sementara jarak dari gerbang ke tempat yang kami tuju masih lumayan jauh.
Setelah menyelesaikan semua keperluan --termasuk mampir ke salah satu kedai untuk mencicip segelas kopi hangat yang dijajakan warga sekitar, kami kembali melanjutkan perjalanan. Pemandangan kiri-kanan yang gelap pekat membuat saya memutuskan untuk kembali tidur. Saya pikir lebih baik saya istirahat dengan memejamkan mata agar setelah sampai saya memiliki banyak energi untuk berkeliling kawasan wisata tersebut.
Saat sudah hampir sampai di Penanjakan, saya dan beberapa teman yang tertidur dibangunkan. Ternyata untuk sampai ke tangga puncak kami harus berjalan kaki atau menaiki kuda sekitar 500 meter. Jeep yang kami sewa katanya tidak bisa mengantar hingga ke titik tersebut.
Awalnya kami berlima kukuh akan berjalan kaki. Namun setelah beberapa langkah berjalan, kami menyerah. Jalan berbatu dengan suasana yang gelap pekat membuat kami kesulitan melangkah. Akhirnya kami memutuskan untuk naik kuda. Kebetulan ada lima kuda yang sejak awal mengikuti kami. Kuda tersebut kami sewa Rp75 ribu per ekor.
Kami sempat berpikir kuda-kuda tersebut akan mengantar kami hingga Puncak Mentigen, namun ternyata hanya mengantar hingga kaki Penanjakan. Alhasil untuk mengumpulkan tenaga menaiki satu persatu tangga yang jumlahnya lumayan banyak, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah saung yang dibangun seadanya. Apalagi saat itu waktu juga masih menunjukan pukul 03:30 WIB.