Batam, Kepulauan Riau, tidak hanya memiliki studio film terbesar di Indonesia, namun juga mempunyai sineas-sineas muda berbakat. Akhir pekan lalu (26/3), saya berkesempatan menonton empat film pendek yang dibuat dan diperankan oleh warga Batam di Blitz Megaplex Kepri Mall Batam, yakni “Cemetery”, “Karna Kau Wanita”, “Panorama Hijrah”, dan “Malam Minggu Ramli”.
Empat film tersebut mengambil tema yang cukup variatif, mulai dari tema sosial mengenai anak-anak yang haus kasih sayang orangtua hingga tema rohani yang Islami. Namun diantara empat film lokal tersebut, saya paling terkesan dengan Film “Malam Minggu Ramli” yang berdurasi sekitar 15-20 menit.
Saya sangat terkesan dengan cerita film itu yang lucu dan menghibur. Selain itu ada pesan moral yang disisipkan – hargai dan cintai ibumu selagi masih hidup. Melihat film ini serasa menonton film-film P Ramlee. Tahu kan film lawas Malaysia yang diperankan oleh aktris Malaysia keturunan Aceh, Indonesia?
Selain menggunakan Bahasa Melayu yang kental, tampilan gambar pada film ini juga mirip dengan film-film P Ramlee. Bedanya bila film-film yang dibintangi Puteh Ramlee hitam putih, “Malam Minggu Ramli” berwarna. Hanya saja warnanya dibuat pudar seolah film itu sudah diproduksi beberapa puluh tahun lalu.
Usai pemutaran film, saya sempat berbincang dengan pemeran Mak Ramli, Paskalia Rilin Rahayu. Ia mengungkapkan, film “Malam Minggu Ramli” memang terinspirasi dari Film P Ramlee, tepatnya “Seniman Bujang Lapok”. Meski kru film bukan seluruhnya bersuku Melayu, namun salah satu penggiat Komunitas Film Batam Nifikiwa tersebut mengatakan, mereka semua sangat menyukai film yang kental dengan logat Melayu itu.
Paskalia mengungkapkan, pemeran di Film “Malam Minggu Ramli” juga bukan semuanya orang Melayu. Ia contohnya. Paskalia adalah orang Kalimantan. Hanya saja ia memang sudah lama bermukim di Batam, sehingga tidak kesulitan mengucapkan kalimat-kalimat Melayu dengan logatnya yang khas.
Disisipi Film Bertema Buruh Migran Singapura
Selain memutar empat film lokal, panitia acara juga menampilkan Film “Kiasah Anak Rantau” yang dibuat oleh sutradara Singapura, Bob Koosmangat. Film tersebut menyorot fenomena yang dihadapi tenaga kerja domestik Indonesia – khususnya tenaga kerja wanita (TKW), di Singapura.
Saat konfrensi pers, Bob mengungkapkan, timnya melakukan riset terlebih dahulu. Selain itu, agar peran yang dibawakan lebih menjiwai, mereka juga merekrut sebagian besar buruh migran Indonesia di Singapura untuk membintangi film tersebut – termasuk si pemeran utama yang sudah bekerja di Singapura selama enam tahun, Sulis Dhika Yani.
Bob mengungkapkan, para pemain yang umumnya adalah buruh migran memberi tantangan tersendiri, yakni jadwal shooting yang sangat terbatas. Para pemain film yang tetap harus bekerja, membuat shooting film yang dilakukan di Batam-Singapura itu hanya dapat dilakukan setiap hari Minggu saat mereka libur bekerja.
Jadwal shooting yang sangat terbatas ditambah para pemain yang umumnya baru pertama kali terjun di dunia seni peran, tak mengurangi kualitas film yang dihasilkan. “Kisah Anak Rantau” tersaji cukup baik. Masalah-masalah yang dihadapi tenaga kerja Indonesia dapat tersampaikan.