Menjelang Idul Fitri 1436 H lalu, saya sempat mencuri dengar obrolan beberapa orangtua yang sudah terbilang sepuh. Awalnya mereka hanya mengobrol ringan mengenai kebiasaan Idul Fitri, mulai dari para orangtua tersebut yang biasa dibelikan kue lebaran, baju baru, hingga sisipan angpau dari anak-cucu mereka.
Saat membahas mengenai angpau, obrolan agak sedikit sensitif karena beberapa dari mereka mulai curhat mengenai kepedulian masing-masing anak. Ada yang dengan bangga bercerita bahwa anaknya setiap kali lebaran memberikan uang sekian juta, ada juga yang dengan sumringahnya membanggakan jumlah pakaian baru yang dibelikan anak-anak mereka.
Ada satu yang bercerita bahwa anaknya setiap kali lebaran tidak sekaligus memberikan uang dalam jumlah berjuta-juta karena setiap bulan sang anak rutin mengirimkan sejumlah uang untuk membantu kebutuhan sehari-hari. Beberapa dari kami ada yang manggut-manggut takjub, karena tidak semua anak memiliki kepedulian seperti itu.
Ada satu nenek yang bercerita bahwa awalnya ia senang dikirimi uang Rp150 ribu/bulan dari sang anak. Bukan karena besaran yang diberikan, namun lebih kepada bentuk kepedulian dari anak tersebut. Namun saat bercerita kepada salah satu kerabat, kesenangan tersebut sedikit berkurang. Kerabatnya bilang, sudah seharusnya seorang anak memberikan sedikit rezeki mereka kepada orangtua.
Kerabat tersebut juga menambahkan, namun dengan gaji sekitar Rp8 juta/bulan, masa uang yang dihadiahkan untuk sang bunda tidak sampai 10 persen dari take home pay yang diterima. Nenek tersebut dengan polosnya bilang, berarti kecil sekali ya uang yang diberikan sang anak padanya.
Saya yang saat itu memang hanya jadi pendengar, jadi bertanya-tanya sebenarnya seberapa besar ya dana yang seharusnya disisihkan untuk orangtua – setelah kita berkeluarga?