Lihat ke Halaman Asli

Cucum Suminar

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Selain Ijazah Palsu, Ada Dosen Palsu?

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

<!-- [if gte mso 9]><xml> Normal0falsefalsefalseMicrosoftInternetExplorer4 </xml><![endif]-->

<!-- [if gte mso 9]><xml> </xml><![endif]--><!-- [if !mso]><object classid="clsid:38481807-CA0E-42D2-BF39-B33AF135CC4D" id=ieooui></object> <style> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } </style> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style>

Beberapa minggu terakhir ini, berita ijazah palsu cukup hangat diberitakan. Surat kabar lokal dan nasional hingga situs berita online ramai membicarakan hal tersebut. Salah satu pejabat negara bahkan sempat dituding terlibat dalam pembelian ijazah palsu, meski akhirnya dibantah baik oleh dirinya pribadi, maupun institusi pendidikan tempat pejabat tersebut mendapatkan gelar akademik secara sah dan resmi.

Selain ijazah palsu, sebenarnya masih ada hal palsu di perguruan tinggi. Salah satunya adalah dosen palsu. Tahun 2007 saat saya baru beberapa bulan lulus dari jenjang magister, saya sempat ditawari oleh salah satu teman untuk menjadi dosen tetap di salah satu perguruan tinggi di wilayah Jawa Barat.

Namun teman saya itu mengatakan, saya tidak perlu datang ke kampus untuk mengajar, saya hanya perlu mengirimkan salinan ijazah dan transkrip nilai yang sudah dilegalisasi oleh perguruan tinggi tempat saya belajar. Sebagai kompensasi, setiap bulan saya akan mendapatkan uang Rp500 ribu.

Salinan ijazah tersebut digunakan untuk EPSBED (Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri) yang harus dipenuhi oleh setiap perguruan tinggi untuk mengurus akreditasi. Salah satu syarat untuk mendapatkan akreditasi adalah ketersediaan dosen yang seimbang dengan mahasiswa.

Perguruan tinggi tersebut tentu akan mendapatkan nilai lebih bila dosen mereka minimal lulusan strata dua dengan jurusan yang linear. Seperti yang kita tahu, bila perguruan tinggi tidak mendapatkan akreditasi, otomatis perguruan tinggi tersebut tidak berhak mengeluarkan ijazah dan meluluskan mahasiswa.

Saat mendapatkan tawaran dari rekan saya tersebut, saya dengan tegas menolak. Apalagi saat itu saya sudah mengajar paruh waktu di almamater saya. Saya hanya berpikir, bila nama saya digunakan sebagai dosen tetap di perguruan tinggi lain, belum tentu almamater saya mau menerima saya sebagai dosen paruh waktu.

Selain saya, ternyata ada beberapa rekan yang juga ditawari untuk dipergunakan ijazahnya. Teman saya sempat ada yang mau dan sempat menerima uang kompensasi juga, meski sekarang teman (teman) saya tersebut sudah benar-benar menjadi dosen tetap dan mengajar di salah satu universitas di Jakarta.

Saat mengajar di Batam, Kepulauan Riau, sekitar tiga tahun lalu, salah satu perguruan tempat tinggi tempat saya mengajar juga sempat melakukan penawaran seperti itu. Mereka menawari lulusan magister yang linear (maupun tidak) untuk dipinjam ijazahnya dan didaftarkan sebagai dosen tetap.

Bila orang tersebut bersedia, selama satu tahun mereka akan mendapatkan kompensasi Rp5 juta/orang. Saya tidak tahu saat ini masih berlangsung atau tidak. Namun yang pasti tipu-tipu seperti itu untuk mendapatkan akreditasi sangat merugikan, baik merugikan negara maupun mahasiswa.

Mungkin Kementrian Riset, dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi harus lebih tegas menentukan hukuman bagi perguruan tinggi yang memalsukan data dosen. Selama ini mereka mungkin berani karena belum ada hukuman tegas terkait perguruan tinggi nakal yang memalsukan data dosen.

Selain membarter ijazah dengan sejumlah uang, ada perguruan tinggi yang tidak mencabut data dosen di Epsbed meski dosen tersebut tidak lagi mengajar di perguruan tinggi tersebut. Dulu saya pernah menjadi dosen tetap di salah satu universitas dengan durasi yang tidak begitu lama. Beberapa tahun berlalu, nama saya tetap digunakan sebagai dosen tetap mereka. Kalau saya tidak datang dan meminta nama saya dicabut, mungkin nama saya akan tetap digunakan.

Tak hanya itu, ada juga dosen paruh waktu, namun karena bergelar strata dua dengan jurusan yang linear diaku-aku sebagai dosen tetap. Saya sempat berpikir, mengapa tidak benar-benar diangkat saja dosen paruh waktu tersebut sebagai dosen tetap? Namun ya kembali lagi ke dana, mungkin pihak perguruan tinggi akan lebih hemat bila mempekerjakan dosen paruh waktu namun dengan kapasitas dosen tetap (setidaknya data-datanya).

Mungkin cerita tersebut tidak terlalu miris, hal yang lebih miris lagi adalah calon dosen tersebut tidak dipekerjakan, tidak dibayar (sewa ijazahnya), namun ijazahnya tetap digunakan perguruan tinggi tersebut. Sehingga seolah-olah orang tersebut merupakan dosen tetap di perguruan tinggi itu, padahal tidak, bahkan mungkin tidak pernah sekalipun dipanggil untuk wawancara. Ia hanya sekedar dimanfaatkan ijazahnya.

Mungkin sedikit tips bagi yang ingin melamar menjadi dosen, namun takut hanya dimanfaatkan ijazahnya. Saat melamar hanya kirimkan salinan ijazah terakhir, jangan semua salinan ijazah dikirimkan. Biasanya untuk mengurus Epsbed pihak universitas memerlukan salinan ijazah S1, S2, dan S3 (bila ada).

Tips juga buat mahasiswa mungkin agar lebih jeli memilih universitas. Jangan asal kuliah, karena bila perguruan tinggi tersebut tidak terakreditasi, buat apa waktu dan uang yang dikeluarkan tersebut, ujung-ujungnya tidak ada ijazah yang bisa dikeluarkan. Kalau bisa mungkin pilih perguruan tinggi yang benar-benar sudah ternama dengan akreditasi A, atau setidaknya B. Ah, Salam Kompasiana! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline