Lihat ke Halaman Asli

Cucum Suminar

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Perbedaan Pengelolaan PAM Swasta dan PDAM

Diperbarui: 4 April 2017   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pengelolaan Air Bersih Kembali ke Pemprov DKI

Rabu, 25 Maret 2015 lalu Kompas menurunkan judul tersebut di Rubrik Metropolitan. Pada berita tersebut diungkapkan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa pengelolaan air bersih di DKI Jakarta yang selama ini dikelola oleh swasta harus dikembalikan kepada pemerintah.

Pada berita tersebut juga disebutkan bahwa perjanjian kerjasama antara PAM Jaya dengan Palyja dan Aetra batal dan tidak lagi berlaku. Beberapa hari kemudian, tepatnya Selasa 31 Maret 2015, pada surat kabar yang sama, diberitakan bahwa operator air di Jakarta tersebut melakukan banding.

Isu mengenai pengelolaan air bersih oleh swasta sepertinya terus bergulir. Apalagi setelah diputuskan pembatalan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (SDA) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada pertengahan Februari 2015 lalu. Pembatalan UU tersebut mengharuskan pemerintah lebih banyak terlibat dalam pengelolaan air bersih.

Saat ini air bersih di beberapa wilayah memang masih dikelola oleh perusahaan swasta. Selain di DKI Jakarta yang air bersihnya dikelola oleh perusahaan swasta Palyja dan Aetra, di Palembang ada juga Adhya Tirta Sriwijaya (ATS) yang mengelola air bersih di salah satu kecamatan.

Bila ditotal ada cukup banyak perusahaan air swasta yang ada di Indonesia. Selain di Jakarta dan Palembang, Provinsi Banten juga memiliki perusahaan air minum swasta. Provinsi tersebut bahkan memiliki lebih dari 10 perusahaan pengelolaan air bersih swasta yakni PT. Sauhbahtera Samudera, PT. Jaya Mitra Sarana, PT. Aetra Air Tangerang, PT. Bintang Hytien Jaya, PT. Alfa Goldlain Realty, PT. Jaya Real Property, PT. Bumi Serpong Damai, PT. Sarana Tirta Rejeki, PT. Sentra Asritama Realty Development, PT. Jakartabaru Cosmopolitan, dan PT. Krakatau Tirta Industri (Sumber: Perpamsi)

Selain di daerah tersebut ada beberapa perusahaan air lain yang juga dikelola oleh swasta. Salah tiganya adalah PT. Air Manado di Kota Manado, Sulawesi Utara, PT. War Besrendi di Biak, Papua, dan PT. Adhya Tirta Batam (ATB) di Batam, Kepulauan Riau. ATB bahkan mengelola air bersih sekaligus mendistribusikan air tersebut ke seluruh pelanggan di Pulau Batam. ATB juga mengutip tagihan secara langsung kepada pelanggan dan memiliki wewenang untuk mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur maupun biaya operasional lainnya.

Saat ini ada sekitar 40 perusahaan air swasta di Indonesia. Mereka bahkan membuat organisasi tersendiri yang bernama Forum Komunikasi Air Minum Swasta (Forkasta). Ada sekitar 35 perusahaan air minum swasta di Indonesia yang bernaung di forum tersebut.

Sebenarnya apa sih kelebihan dan kekurangan bila pengelolaan air dikelola oleh swasta?

Tidak Mendapat dana dari APBN/APBD

Perusahaan air minum yang dikelola oleh swasta (umumnya) tidak mendapat bantuan dana operasional dari pemerintah. Mereka benar-benar membiayai operasional dari “kantong sendiri” – meski mungkin sebagian dari mereka mengajukan pinjaman dari lembaga keuangan seperti bank.

Untuk Kota Batam sebenarnya pemerintah mengucurkan dana yang cukup besar untuk membangun dam sebagai tempat menampung air hujan yang nantinya akan digunakan sebagai air baku. Batam memiliki enam dam – dan jumlahnya akan bertambah menjadi tujuh bila Dam Tembesi sudah beroperasi.

Saya tidak tahu berapa biaya pembangunan setiap dam di Kota Batam. Hanya saja sebagai gambaran, untuk membangun Dam Tembesi yang berkapasitas 600 liter/detik pemerintah harus mengucurkan dana dari APBN sekitar Rp190 milliar. (Sumber: http://haluankepri.com/batam/66338-biaya-dam-tembesi-rp190-m.html).

Dam yang dibangun tersebut dibawah kendali BP Batam. Setiap kali mengambil air baku yang akan diolah menjadi air bersih, pengelola air bersih swasta harus membayar ke BP Batam. Saat ini untuk setiap 1m3 air baku, operator air swasta dibebankan biaya Rp150. Harga tersebut tentu nantinya akan dikalkulasikan dan dibebankan kepada pelanggan.

Pada satu sisi, sistem kerjasama tersebut cukup menguntungkan pemerintah. Pemerintah tidak harus merogoh uang untuk biaya operasional pengolahan dan pendistribusian air bersih, namun kebutuhan air bersih masyarakat tetap terlayani. Hanya saja, karena perusahaan tersebut tidak (secara langsung) menggunakan uang dari APBN/APBD, saat ada dana yang digunakan secara menyimpang lembaga rusuah tidak dapat bertindak.

Dulu sempat ada kasus penggelapan uang yang dilakukan salah satu karyawan operator perusahaan air swasta di Batam. Kasusnya tetap diusut, hanya saja pengusutan dilakukan seperti umumnya penggelapan uang yang terjadi diperusahaan pada umumnya. Perusahaan melapor, oknum tersebut disidang, kemudian setelah terbukti baru dijatuhi hukuman. Tidak ada campur tangan dari lembaga pemerintah seperti KPK dll.

Investasi Cenderung Lebih Cepat

Pengelola air bersih yang mendapat mandat (hampir) penuh bisa lebih leluasa untuk mengalokasikan dana yang mereka miliki untuk membangun infrastruktur karena tidak ada campur tangan dari pihak lain (misalkan walikota atau DPRD) untuk mendiskusikan pembangunan apa yang harus lebih dulu dilakukan. Apalagi bila pengeloaan air bersih tersebut sama sekali tidak menggunakan dana APBD/APBN.

Bila dirasa perlu menambah jaringan pipa, mereka tinggal menambah, Bila perlu membeli alat untuk pengolahan air, mereka tinggal membeli, bila perlu membangun infrastruktur, tinggal membangun. Tidak harus menunggu “ketok palu” terlebih dahulu.

Lebih Leluasa Merekrut Personel

Perusahaan swasta umumnya lebih leluasa merekrut karyawan sesuai dengan keahlian mereka. Karyawan diperusahaan tersebut juga umumnya lebih ramping dibanding perusahaan air yang bernaung di BUMD. Gaji mungkin menjadi alasan mengapa mereka menerapkan sistem kepegawaian yang efektif.

Perusahaan air swasta di Batam saat ini rasio pegawainya mencapai 2,3 per 1.000 pelanggan. Padahal rasio nasional berada diangka 6,3 per 1.000 pelanggan. Mungkin perusahaan berpikir, semakin sedikit karyawan, dana yang dikeluarkan untuk gaji akan semakin sedikit. Sehingga, dana tersebut dapat dialokasikan untuk keperluan lain.

Mungkin ada K’ers lain yang mau menambahkan perbedaannya? Salam Kompasiana! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline