Penerimaan siswa baru (PPDB) baru saja berlalu. Masih lekat dalam ingatan kita, orang tua calon siswa baru memenuhi halaman sekolah mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA. Berbagai cara ditempuh agar anak-anaknya diterima di sekolah yang mereka tuju dan yang anak-anak mereka inginkan. Setiap jalur ditempuh, mulai dari jalur afirmasi, prestasi non akademik, jalur akademik, dan jalur lingkungan.
Sampailah pada waktupengumuman sebagaimana yang telah ditentukan, wajah-wajah cerah ketika anak-anak mereka diterima di sekolah yang jadi keinginannya, sebaliknya, wajah-wajah terlihat murung ketika ana-anak itu tidak dapat diterima di sekolah yang mereka tuju, bahkan banyak yang menangis, cara lain pun ditempuh selagi bisa, kasak-kusuk, cari koneksi, bahkan minta bantuan pejabat daerah. Begitulah suasana dan hiruk-pikuk saat-saat penerimaan siswa baru.
Yang ingin saya cermati di sini adalah ketika pendaftar ke satu sekolah banyak, sedangkan sekolah tersebut dibatasi penerimaannya, maka sisa calon siswa akan terserap oleh sekolah lain. Biasanya sekolah negeri akan banyak membuang calon siswa baru yang seharusnya ditampung di sekolah swasta. Hal itu sudah biasa terjadi, bahkan ada sekolah swasta di daerah saya, salah satu SMK sampai"membuang" calon siswa barunya ratusan bahkan ribuan.
Namun ada pertanyaan besar untuk jenjang SMP, ketika jumlah calon siswa yang diterima di sekolah negeri sudah memenuhi ketentuan, otomatis buangan banyak, namun anehnya siswa yang mendaftar ke sekolah swasta sangat sedukit, bahkan ada sekolah swasta yang hanya mendapat murid hanya puluhan siwa saja. Yang jadi pertanyaan ke manakan calon siswa yang tidak diterima di SMP negeri??
Masalah inilah yang akan saya soroti, masyarakat terlalu negeri minded (saya menggunakan istilah ini sebagaimana tulisan saya terdahulu "PPDB, Negeri Minded) istilah bagi masyarakat yang berorientasi ke sekolah negeri saja. Seakan-akan aib menyekolahkan anak di sekolah swasta. Itu pun di daerah, berbeda halnya di perkotaan, sekolah swasta banyak yang lebih bonafid disbanding sekolah negeri, dengan fasilitas serba ada berkat iuran orang tua siswa. Para orang tua lebih merasa nyaman dan merupakan prestise bila dapat menyekolahkan anka di sekolah favorit mskipu swasta.
Di daerah, sekolah swasta sepi pendaftar. Terutama pada jenjang SMP, orang tua akan lebih suka menyekolahkan anaknya ke luar daerah dulu, dan kemudian pada semester berikutnya dipindahkan ke sekolah yang diinginkan. Mereka rela anaknya sekolah jauh-jauh dari rumah dari pada harus sekolah wasta meskipun dekat dengan rumah.
Hal inilah yang berdampak sepinya siswa di sekolah swasta. Sekolah swasta koleps, ibarat peribahas "Hidup segan mati tak mau" nasib sekolah jalan di tempat bahkan mundur, karena dengan sedikit siswa otomatis sedikit pula penerimaan BOS dari pemerintah. Mati, enggan, karena sekolah swasta sudah dirintis dengan susah payah, berdarah-darah dimulai penyediaan tanah, mendirikan yayasan, dan sebagainya. Hidup pun kelihatan tidak mungkin, melihat kondisi yang serba kekurangan. Untuk promosi juga butuh biaya, sekolah makin terpuruk, tak bisa membiayai operasionalnya sendiri.
Hal ini sangat ironis dengan wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah dalam meningkatkan angka melek huruf bangsa ini. Berat memang beban sekolah swasta bila harus bersaing seoperti di kota bila tidak didukung oleh biaya, sementara meminta biaya kepada orang tua siswa beerdampak makin tidak disukai oleh masyarakat.
Sebaiknya ada cara pemerintah untuk menghidupkan kembali sekolah swasta dengan mengatur porsi sekolah-sekolah negeri agar bisa berbagi siswa dengan sekolah swasta. Memang sekarang jumlah siswa dalam satu kelasnya diatur hanya 32 siswa saja untuk SMP, apabila melebihi maka akan disanksi dengan penyetopan dana BOS dari pemerintah, namun banyak kepala sekolah yang nakal, agar tetap mendapat siswa banyak dan mendapat dana BOS, mereka memaksimalkan jumlah penerimaan siswa baru sehingga kelas tujuhnya full, dengan mensiasatinya memadatkan jumlah siswa kelas delapan dan Sembilan sehingga bisa menghemat kelas, dan bisa digunakan untuk kelas tujuh yang harus 32 orang siswa. Sementara kelas delapan dan sembilannya penuh di atas 40 orang siswa. Sementara "tetangganya" sekolah swasta kocar-kacir.
Hmmm, permaalahan rutin tiap tahun, namun belum ada solusi yang jitu, yuk kitasama-sama pikirkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H