Lihat ke Halaman Asli

GoresanChuyans

Lajnah berhijrah

Perlunya Seorang Khalifah (Imam)

Diperbarui: 3 Februari 2021   23:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketahuilah bahwa dari hadits shahih terbukti bahwa, "barangsiapa yang dalam hidupnya ia tidak mengenal imam zamannya, maka jika ia wafat, ia akan wafat dalam keadaan jahiliyah"

Hadits ini memadai bagi hati seorang mutaki untuk mencari Imam zamannya sebab kewafatan jahiliyah merupakan suatu kemalangan besar sehingga tidak ada suatu keburukan dan kesialan yang lebih buruk daripada itu. Oleh karena itu, dengan adanya wasiat Rasulullah Saw tersebut maka perlulah bagi setiap pencari kebenaran agar senantiasa berusaha mencari Imam (khalifah) yang benar.

Tidaklah benar bahwa setiap orang yang dianugerahi mimpi yang benar atau yang kepadanya terbuka pintu Wahyu samawi dapat disebut Imam (khalifah). Seorang Imam (khalifah) memerlukan suatu kondisi yang komprehensif serta keadaan yang sempurna dan mutlak sehingga di langit namanya disebut Imam (khalifah). Sangatlah jelas bahwa seseorang tidak dapat disebut Imam (khalifah) hanya karena ketakwaannya dan kesuciannya saja.

Andaikata setiap orang mutaki berpredikat sebagai Imam (khalifah) maka secara otomatis semua orang mukmin yang mutaki merupakan Imam. Demikian pula menurut nash Al-Qur'an, tidaklah setiap mulham (penerima ilham) atau shibi ru'ya shadiqah (orang-orang yang dianugerahi mimpi-mimpi benar) itu di sebut Imam (khalifah), sebab telah dijanjikan bagi orang-orang mukmin pada umumnya bahwa,

"Yakni, di dunia ini pula orang-orang mukmin akan memperoleh nikmat dengan acapkali mendapat mimpi-mimpi dan wahyu-wahyu yang benar"

Ditempat lain Al-Qur'an menerangkan bahwa,

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan kemudian menempuh jalan Istiqomah (keteguhan), maka para malaikat akan senantiasa menurunkan Wahyu yang mengandung kabar suka kepada mereka"

Namun al-quran menerangkan bahwa ilham-ilham atau mimpi-mimpi serupa itu merupakan nikmat ruhani bagi orang-orang mukmin laki-laki maupun perempuan. Pada kenyataannya, mereka yang menerima Wahyu demikian bukan berarti tidak lagi memerlukan Imam zaman.

Sering kali Wahyu itu hanya berkaitan dengan pribadi mereka dan tidak mengandung pengetahuan ruhani serta tidak pula keyakinan yang agung.

Sungguh banyak dari Wahyu tersebut di jadikan sandaran. Sebaliknya, Wahyu tersebut terkadang menyebabkan seseorang menjadi tersandung. Selama pengetahuan ruhani tidak disampaikan melalui petunjuk seorang Imam (khalifah), maka tidak ada seorang pun yang selamat dari bahaya ini.

Kesaksian terhadap hal ini dapat diperoleh pada masa permulaan Islam: Karena senantiasa berada di dekat cahaya nubuwwat, seseorang yang menjadi katib (juru catat) al-quran akan seringkali mengambil bagian dari Wahyu ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan kepada Imam, yakni Rasulullah Saw. Setiap kali beliau Saw menyuruhnya untuk mencatat. Pada suatu hari timbul dalam pikirannya bahwa,

"Apa perbedaan dirinya dengan Rasulullah Saw, karena ia pun mendapatkan Wahyu"

Pikiran seperti itu membawanya kepada kebinasaan. Menurut suatu riwayat, kuburannya pun melemparkannya keluar sebagaimana halnya bal'am yang juga sama-sama dibinasakan.

Hz. Umar ra pun menerima Wahyu samawi, tapi beliau menganggap dirinya tidak berharga sama sekali serta tidak memiliki ambisi untuk menyaingi Imamati haqqah (keimaman yang sejati) yang tuhan samawi telah tegakkan di permukaan bumi Ini. Bahkan beliau ra menganggap dirinya lebih rendah lagi daripada seorang sahaya. Oleh karena itu, karunia Allah ta'ala menjadikan beliau wakil Imamati haqqah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline