[caption id="attachment_161276" align="aligncenter" width="640" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption]
Menyambut pergantian tahun 2011 ke 2012 hari Sabtu 31 Desember 2011 kemarin, kami 6 (enam) bersaudara berkumpul di rumah salah seorang kakak saya. Semua datang bersama keluarganya masing-masing. Setelah saya memperhatikan semua yang datang, ternyata ada dua orang keponakan saya yaitu Mika dan Teddy yang keduanya masih berusia remaja yang tidak hadir. Setelah bertanya Mika dan Teddy kemana, orang tua Mika menjawab kalau Mika sedang menyambut tahun baru bersama Teddy dan teman-temannya yang lain ke Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Orang tua Teddy kaget karena Teddy pamitnya akan merayakan tahun baru di Lembang bukan di Pelabuhan Ratu. Ayah Teddy pun akhirnya menelpon untuk mengecek Teddy ada dimana, Teddy pun menjawab Ndy sedang ada di pelabuhan ratu pa, bapa mau di bawakan apa? Disini banyak ikan seger-seger lho pa. Ayahnya hanya terdiam dan menjawab ya sudah hati-hati disana.
[caption id="attachment_153864" align="alignleft" width="420" caption="Sumber : Google Image"]
[/caption]
Disini saya melihat Teddy sudah berbohong kepada orang tuanya ketika sebelumnya ditanya akan merayakan tahun baru dimana, sedangkan Mika berkata jujur. Padahal Teddy selalu berkata jujur kepada saya dalam segala hal, dia selalu terbuka untuk menceritakan semua urusannya. Saya tertarik untuk mendalami kasus ini, karena menurut saya berbohongnya Teddy pasti ada alasannya. Apakah alasannya? Menurut saya salah satunya adalah cara mendidik yang diterapkan orang tua kepada anak-anaknya.
Ayahnya Teddy memang tidak pernah mengijinkan anak-anaknya untuk menginap di rumah teman-temannya, semalam apapun mereka harus pulang ke rumah. Mungkin ini salah satu alasan Teddy berbohong, karena kalau mengatakan hendak pergi ke Pelabuhan Ratu pasti tidak akan diijinkan, sedangkan kalau bilangnya ke Lembang pasti diijinkan karena Lembang lokasinya cukup dekat dari rumah sehingga setelah lewat jam 00.00 pasti bisa pulang walaupun sampai rumahnya subuh karena terjebak macet. Teddy juga mungkin ingin menunjukkan pada orang tuanya bahwa peraturan itu sudah kurang tepat diberlakukan padanya, peraturan itu lebih cocok diterapkan untuk kedua adiknya yang masih usia SD dan SMP, selain Teddy juga berharap orang tuanya percaya penuh kepadanya seperti orang tua Mika yang percaya penuh kepada anak-anaknya.
Dari kasus itu saya melihat bahwa yang dibutuhkan anak-anak usia remaja bukanlah larangan ini dan itu. Yang mereka butuhkan adalah arahan dan perhatian juga komunikasi yang lancar.
Saya jadi ingat salah satu iklan “Aku ngga punya papa....,” seorang gadis cilik menangis tersedu-sedu ketika ditanya oleh para tamu tentang keberadaan ayahnya. Tamu yang menanyakan keberadaan ayah anak itu merasa iba dan menyesal (telah bertanya). Sementara di dalam rumah, sang ayah yang ternyata masih hidup menampakkan ekspresi senang karena anaknya telah menuruti perintahnya. Sudah lama kita tidak mendapati iklan produk mie instan itu di televisi. Iklannya sederhana, kocak dan menarik.
Alasan penarikan iklan tersebut ternyata adalah karena protes dari para orang tua ke KPI karena para orang tua melihat secara tidak langsung iklan tersebut mengajarkan anak untuk berbohong. Tentu saja ini positif, orang tua sudah kritis dalam memilih dan memilah tanyangan yang baik dan yang tidak untuk anak-anaknya.
Setiap orang tua tentu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Mereka ingin agar anaknya mendapat kasih sayang yang melimpah, segala kebutuhannya tercukupi, mengenyam fasilitas pendidikan yang layak, meraih prestasi gemilang dan lain sebagainya. Namun, yang paling penting buat para orang tua adalah mengharapkan anaknya menjadi anak yang baik dan berbakti. Sayangnya sering kali keinginan itu tidak didukung oleh usaha. Malah, tidak jarang harapan kebaikan yang coba ditanamkan itu dipangkas tanpa sadar oleh orang tua itu sendiri dengan contoh-contoh yang tidak baik yang berpotensi ditiru oleh anak.
Pola pendidikan yang salah terhadap anak atau mungkin tanpa disadari orang tua mengajarkan anak yang masih kecil untuk berbohong seperti bilang papa/mama nggak ada di rumah ketika ada pengemis atau peminta sumbangan datang ke rumah atau mungkin ada telepon dari orang yang tidak dikehendaki oleh orang tuanya, berpotensi untuk membuat anak mempunyai pemikiran bahwa berbohong itu diperbolehkan buktinya orang tuanya sering melakukan. Maka tidak heran jika kelak ketika anak menginjak usia remaja akan "tidak merasa bersalah" jika berbohong.
Bukan bermaksud menggurui, karena saya sendiri belum mempunyai anak. Saya akan coba share apa yang harus dilakukan orang tua jika anak-anak mulai berani berbohong, sebaiknya orang tua melakukan hal-hal berikut ini :
- Introspeksi. Anak ibarat selembar kertas putih, maka ketika ada goresan tinta kelam, yang perlu ditanya “ mengapa” adalah kedua orangtuanya. Jelas ada sesuatu yang salah denga pola asuh yang diterapkan selama ini sehingga anak berani berbohong. Ada sebuah istilah yang mengatakan bahwa anak merupakan cermin perilaku orang tuanya. Jadi ketika anak berbohong, orangtuanyalah yang telah megajarkan anak berperilaku demikian. Hal tersebut mungkin dilakukan tanpa sadar.
- Memaksa anak untuk mengakui bahwa dia telah berbohong hanya akan membuat anak berbohong lebih banyak lagi. Jadi berhentilah menginterogasinya.
- Ketika anak berbohong, maka isi dengan keterbukaan dan kedekatan. Bisa jadi anak tidak benar-benar berbohong. Dia hanya enggan menceritakan hal yang sebenarnya kepada orang tuanya karena berbagai alasan. Dan alasan yang paling mendasar adalah adanya jarak emosi antara anak dan orang tua, sehingga anak lebih nyaman bercerita dengan teman-teman yang seusia dengan mereka dan lebih "mengerti" jiwa mereka. Apalagi ketika anak menginjak usia remaja, sebaiknya orang tua lebih menempatkan diri sebagai sahabat bagi anak-anaknya yang siap setiap saat ketika anak-anak membutuhkan seseorang untuk berbagi.