Lihat ke Halaman Asli

Sang Ayah

Diperbarui: 28 Agustus 2016   14:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tak terasa sudah tiga minggu berjalan, dan kini sudah waktunya untuk ayah kembali ke tempatnya bekerja. Mencari nafkah menghidupi keluarga kecilnya. Bekerja membanting tulang demi sesuap nasi dan sebongkah berlian (harapan). Tak mudah baginya harus terpisah dengan anak istri. Walaupun itu dilakukan untuk menghidupi keluarganya. Penuh perjuangan, pergolakkan serta pengorbanan yang tak sedikit. Meninggalkan keluarga untuk waktu yang lama dengan jarak yang jauh bukanlah hal yang mudah. Butuh ketabahan dan kesabaran yang ekstra. 

Jika tak kuat maka hari-hari yang dilewati akan terasa sangat berat. Juga mungkin akan penuh dengan air mata. Tak semua orang mampu terpisah dengan orang-orang tersayang. Sangat menyiksa, membunuh secara perlahan. Siang malam hanya bisa diisi dengan kegalauan. Pikiran melayang-melayang tak berarah. Mencari tempat untuk pegangan, sekedar hanya untuk bertahan. Dari terpaan yang tak terbendung, tekanan yang mengunung. 

Tapi inilah yang disebut dengan kehidupan, yang kesehariannya tak pernah pasti. Yang mengharuskan kita untuk tetap berjuang. Bertahan dalam kejamnya persaingan, tiarap dalam sadisnya perbudakan. Saat yang kaya makin kaya, yang miskin hanya tinggal menanti ajal. Untuk hilang dari dunia, dunianya orang-orang yang tak peduli dengan sesama. 

Perjuangan ini tak akan pernah selesai, sampai kehidupan ini berakhir. Sampai nafas ini tak ada lagi, dan umur ini habis. Tapi percaya saja, Tuhan pasti tolong. Mengangkat kita ke tempat yang lebih baik dari saat ini. Amin




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline