Semua yang ada di bawah langit ini, ada waktunya.
Sekarang waktunya Paris Saint Germain (PSG) berlaga di pertandingan final Liga Champions. Lawannya adalah Bayern Munchen klub terbesar Jerman.
PSG adalah klub tersukses di Perancis sedangkan Bayern begitu mendominasi Liga Jerman. Namun duel dua juara liga ini tak bisa serta merta mewakili laga raksasa Eropa Perancis vs Jerman. Kebetulan kedua negara ini juara Piala Dunia di dua edisi terakhir (2014 dan 2018).
Ini final Liga Champions yang sama sekali baru. Baik head to head kedua grand finalis, maupun cara laga yang digelar di Stadion Da Luz yang sunyi tanpa pesta meriah karena pandemi korona. Sejatinya final Liga Champions 2020 dilaksanakan di Istanbul Turki 30 Mei 2020 silam.
Membongkar kekuatan faktual kedua tim dari sisi teknis tentu sudah banyak dibedah karena bisa diukur dari beberapa pertandingan yang telah dijalani. Saya tidak berminat pula menganalisa formasi apa dan strategi seperti apa yang bakal dipakai oleh Thomas Tuchel atau Hans Dieter Flick. Dan (mungkin) saya tak akan menuliskan, setelah kita mengetahui hasilnya pada Senin pagi nanti.
Yang barangkali lebih menarik perhatian saya adalah sejarah sepak bola, dan juga persepsi masing-masing kedua grand finalis. Kedua klub didukung banyak hal, sejarah hebat, materi pemain papan atas, pelatih kaliber dunia, dan sebagainya.
Dalam sejarah klub PSG, ini final akbar perdana bagi klub yang bermarkas di Stade de Princes, Paris. Mereka bakal berdarah-darah hingga penghabisan menghadapi Bayern, klub dengan sejarah panjang yang sudah lima kali memenangkan trofi dari 12 kali kesempatan bertanding di final.
PSG dan Bayern tampil sangat meyakinkan dan menampilkan kinerja yang nyaris sempurna, terutama setelah Liga Champions kembali bergulir berformar turnamen mini di Lisbon setelah lima bulan tertunda.
Bayern musim ini bak monster horor. Dari babak penyisihan hingga semifinal, sepuluh laga disapu bersih oleh Manuel Neuer cs. Klub Chelsea digasak dua kali, Barcelona dibuat malu tanpa kasihan dengan skor 8-2, dan terakhir Lyon tak berdaya menahan kekuatan Robert Lewandowski cs di semifinal.
Semua kemenangan Die Roten tercipta dari kerapian sebuah sistem baku yang telah mendarah daging bagi setiap pelaku sepak bola Jerman. Di tangan Flinsi, Bayern selalu memulai pertandingan dengan baik dalam tempo cepat dan bermain efektif. Pun dengan cara yang tidak klise, mereka bisa mengatur sektor pertahanan yang rapih, kokoh, dan gigih.
Satu hal lagi, keberanian Flinsi menurunkan pemain muda seperti Alphonso Davies, Jose Kimmich, Leon Goretzka, dan Sergey Gnabry juga dipuja-puji. Pemain-pemain muda tersebut tidak hanya menunjukkan kecepatan dan kekuatan tenaganya, tetapi kreativitas dan inovasi permainan, yang biasanya sudah hilang dari pemain senior.