Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Zulfadli

TERVERIFIKASI

Catatan Ringan

Pengalaman Saya dengan Kompas (55 Tahun)

Diperbarui: 28 Juni 2020   18:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber: https://epaper.kompas.id/)

Perkenalan saya dengan Kompas karena kebiasaan yang tertular dari ayah saya,-pembaca setia koran Kompas. Sudah lebih dari 30 tahun.

Saya masih mengingat ayah berlangganan dua koran sekaligus, satu koran lokal bernama Pedoman Rakyat. Satu lagi koran nasional bernama Kompas. Pedoman Rakyat bacaan ayah di pagi hari sebelum berangkat ke kantor, sedangkan Kompas baru bisa dilahap ayah di waktu siang atau sore hari, menunggu waktu sembahyang magrib selepas pulang kerja (Kompas baru diantar pada lewat tengah hari, karena harus menunggu percetakan dan pengiriman dari Jakarta).

Hampir setiap hari-pagi dan sore, saya selalu menemani ayah membaca koran di teras rumah kami di kota Makassar (dulu Ujung Pandang), sambil disuguhkan kudapan dari dapur Ibu, biasanya teh hangat dan pisang goreng.

Tidak sekadar menemani, namun saya mulai ikut membaca Kompas. Meski saya baca hanya rubrik Olahraga. Saya sering memohon kepada ayah untuk membagi lembaran Kompas yang memuat berita Olahraga. Headline, tajuk rencana, dan rubrik lain, kerap saya lewatkan. Pokoknya, begitu dapat Kompas, saya langsung membuka halaman belakang (hlm.15) bagian rubrik olahraga.

Jika hari Jumat, saya ingin pastikan paling depan di teras rumah menunggu si-abang loper Kompas datang. Kenapa? Karena ada tabloid Bola cuma-cuma, sebagai sisipan Kompas. Saking senangnya, saya suka membaca Bola itu berkali-kali, menyimpannya sebagai koleksi.

Sempat sedih saya kala Bola diedarkan terpisah pada tahun 1988. Harganya sekitar Rp. 350. Tentu saya belum punya duit sebesar itu akhirnya jadi berjarak dengan Bola. Hanya sesekali ayah membelikan, saya masih ingat Bola pertama yang dibelikan ayah bersampul Mike Tyson, si leher beton yang sedang di puncak kejayaan tinju dunia (Bola pada Oktober 2018, berhenti terbit edisi cetak).

#Jika mengingat momen-momen paling berharga dengan ayah, saya merasa terharu, bersyukur, sekaligus sedih, karena momen berharga bersama ayah selalu ingin saya kenang. Semoga Allah SWT selalu memberika kesehatan, rahmat, menjaga dan melindungi ayah saya. Amin.

Rutinitas membaca Kompas (olahraga) akhirnya menjadi kebutuhan, bahkan ketika ayah menyekolahkan saya di Jogja. Untung saja perpustakaan sekolah berlangganan Kompas. Jika waktu istirahat atau ada waktu luang, saya selalu mencari Kompas tersebut yang kadang dibaca juga oleh banyak siswa.

Di sinilah saya mulai membaca Kompas lebih luas, lebih dalam, tidak sekadar rubrik olahraga. Pun ketika kuliah, nyaris tak pernah saya lewatkan ke perpustakaan kampus demi membaca Kompas, bahkan Pak Slamet, pegawai perpustakaan, sudah hafal betul kebutuhan saya, ada kalanya dia sengaja menyimpan Kompas dan Bola untuk saya. Jika hari libur, saya baru membeli Kompas secara eceran.

****

Sesuai terminologi, Kompas, berfungsi menunjukkan arah, benar-benar terjadi pada diri saya. Bukan hal yang berlebihan kalau belum baca Kompas, bagi saya, seperti ada yang salah, seperti ada yang kurang, seperti belum komplit, seperti belum makan. Pokoknya seperti tersesat karena tak punya kompas penunjuk arah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline