Penayangan sepuluh seri The Last Dance, film dokumenter di saluran digital Netflix mengenai perjalanan karir Michael Jordan membangun dinasti kejayaan Chicago Bulls, mengingatkan lagi saya masa-masa menjadi penggemar bola basket. Masa hegemoni Jordan Cs dapat dibagi menjadi dua babak dengan masing-masing babak mengukir hettrick. Periode emas pertama terjadi pada 1991-1993, sedangkan masa gemilang kedua terukir pada 1996-1998.
Saya belum sempat menyaksikan pada hettrick pertama Jordan dan Bulls, hanya mendengarnya samar-samar dari program televisi yang masih terbatas dan koran cetak yang konvensional. Termasuk saat mega bintang Jordan memutuskan mundur (sabatikal) pada akhir musim 1993. Sesuatu yang membingungkan saya pada masa itu.
Pada 1993 saya masuk SMP, dan untuk pertama kali bisa bermain basket di lapangan standar walaupun tergopoh-gopoh dengan ukuran besarnya bola dengan postur tubuh. Singkat cerita, saya tertarik pada cabang populer di sekolah-sekolah itu, bahkan saya terpilih menjadi anggota tim basket sekolah bertanding di kompetisi antar sekolah di Makassar pada periode 1995-1996.
RCTI atau SCTV, stasiun televisi swasta nasional juga baru bisa tayang di Makassar pada waktu itu, ikut mempopulerkan basket dengan tayangan NBA dan Kobatama, semakin membuat saya menyenangi basket. Sayang itu musim pertama NBA sejak mundurnya Jordan.
Saya masih ingat bersama-sama teman sekolah antusias pertama kali menonton live NBA, final akbar 1994, mempertemukan Houston Rockets vs New York Knicks, dengan rivalitas raksasa Hakeem Olajuwon (Rockets) versus Patrick Ewing (Knicks). Hasilnya Rockets juara dengan skor ketat 4-3, dan Olajuwon dengan trademark under basket-pivot menjadi MVP.
Setahun kemudian pada final 1995, tim favorit saya Orlando Magic dengan dynamic duo Shaiquile O'Neal dan Anferney Hardaway berhasil menjadi tim terbaik Wilayah Timur dan menantang Rockets di final. Tapi Magic hancur lebur dengan Rockets sapu bersih 4-0, kekalahan paling telak final. Saya patah hati, dan berharap Magic bisa membalas pada tahun berikutnya. Pada paruh kedua musim 1995 itulah Jordan 'turun gunung' ke dunia NBA.
Baru pada musim 1995/1996, Jordan dan Bulls benar kembali secara penuh persiapan, baik fisik, teknik, dan mental. Pengamat dan penggemar yang memprediksi Bulls akan juara atau tidak, berada pada persentase seimbang. Saya termasuk kelompok yang memprediksi Bulls tak akan bisa juara hanya karena kembalinya Jordan. Barangkali karena saya sudah terlanjur ngefans pada Magic, tim dengan talenta-talenta muda yang mulai matang.
Prediksi saya salah besar. Magic tak lagi ganas, justru Jordan dan Bulls melaju ke final relatif mulus dengan angka kemenangaan tinggi di babak reguler. Bulls berhadapan dengan lawan tangguh dari wilayah Barat, Seattle Super Sonic, yang mengandalkan Gary Payton dan Shawn Kemp. Mentalitas juara yang kuat Jordan dan Scottie Pippen, akhirnya memenangkan Bulls juara untuk keempat kali. Juaranya Jordan pada 1996, dinilai satu satu comeback terhebat dalam sejarah olahraga.
Musim selanjutnya, pada 1996/1997, lebih fenomenal lagi. Bulls juara dengan mencatat rekor terbaik babak regular (72-10) dan meraih cincin juara kelima, di babak final Bulls mengatasi Utah Jazz dengan skor 4-2 lewat pertarungan tiap game yang sengit, dan seperti biasa Jordan selalu tampil sebagai penembak penentu kemenangan.
Pencapaian Bulls merupakan fenomena besar dalam NBA. Media dan pakar menilai Bulls era-90's merupakan satu tim paling sukses dan paling bernilai dalam sejarah olahraga AS. Presiden NBA David Stern tak sungkan memuji Bulls sebagai tim basket terbaik di masa itu dan untuk beberapa abad.
****